Indef Ungkap Tiga Alasan Pertumbuhan Investasi Masih Seret
Reporter
Dias Prasongko
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 7 Februari 2019 18:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Nawir Messi mengatakan ada tiga hal yang menyebabkan pertumbuhan investasi masih seret. Pertama, karena adanya rezim ketenagakerjaan yang tidak menarik bagi investor.
BACA: BKPM: Pertumbuhan Ekonomi Meleset Akibat Investasi Seret
"Saya kira sudah saatnya untuk melihat kembali apakah, rezim ketenagakerjaan sekarang ini masih friendly untuk menarik investasi atau tidak. Jangan-jangan rezim itu justru menjadi constraint jadi investor asing," kata Nawir dalam diskusi yang bertajuk Tantangan Mendorong Pertumbuhan dan Menarik Investasi di Tahun Politik, di Jakarta Selatan, Kamis 7 Februari 2019.
Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal telah mengumumkan bahwa target realisasi pencapaian investasi sepanjang 2018 tak mencapai target. Realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri atau PMDN dan Penanaman Modal Asing atau PMA sepanjang tahun lalu hanya mencapai Rp 721,3 triliun alias sekitar 94 persen dari target.
Apabila dirinci, total realisasi investasi PMDN 2018 mencapai Rp 328,6 triliun atau naik sebesar 25,3 persen dibandingkan 2017 sebesar Rp 262,3 triliun. Sedangkan total realisasi investasi PMA 2018 adalah sebesar Rp 392,7 triliun, turun 8,8 persen dibandingkan realisasi investasi PMA 2017 sebesar Rp 430,5 triliun.
BACA: Imlek 2019, Luhut: Tahun yang Baik untuk Berinvestasi
Nawir mengatakan terkait ketenagakerjaan, gaji yang terus naik tersebut menjadikan investor cenderung ogah untuk berinvestasi. Sebab, kenaikan gaji para tenaga kerja tersebut lebih cepat jika dibandingkan dengan kapasitas produksi dari jumlah industri dan juga pertumbuhan ekonomi yang ada.
Selain itu, kata Nawir, hal-hal yang masih menghambat investasi masuk adalah masih tingginya angka korupsi di Indonesia. Dengan tingkat korupsi yang masih tinggi, menyebabkan banyak investor berpikir ulang terhadap kemungkinan untuk berinvestasi.
Adapula hambatan birokrasi yang seringkali tidak sinkron antara pemerintah pusat dengan daerah. Dalam hal ini tidak ada koordinasi antara perizinan di daerah dengan implementasinya di daerah. "Jadi harus saya bilang koordinasi itu barang yang mahal di Indonesia khususnya mengenai investasi," kata dia.
Nawir mencontohkan, persoalan koordinasi tersebut terlihat dari proses perizinan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Meski Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah melakukan berbagai upaya deregulasi, namun hal ini hanya berhenti di level pusat.
Sedangkan di level daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota izin-izin untuk kepentingan investasi seringkali tak bisa terealisasi. "Paket kebijakan itu nampaknya, tidak terimplementasi baik di daerah, sehingga investasi yang ada tetap tidak bisa terealisasi," kata dia.