Industri Fintech Perluas Sumber Pendanaan
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 29 Januari 2019 06:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Harian Asosiasi Fintech (Aftech) Kuseryansyah optimistis tahun ini investasi di bidang teknologi finansial (fintech) pinjam meminjam berbasis online (peer to peer lending) terus mengalir dan semakin luas. Terlebih, penetrasi penyaluran pembiayaan tahun lalu meningkat hingga 784 persen dibandingkan 2017, yaitu menjadi Rp 22,67 triliun dari Rp 2,56 triliun.
BACA: Bos OJK Larang Fintech Pinjaman Online Ambil Untung Terlalu Besar
“Karena prospeknya tetap menarik bagi perusahaan modal ventura (venture capital) jika melihat dinamika dan pertumbuhan industri beberapa waktu terakhir,” ujarnya, kepada Tempo, Senin 28 Januari 2019.
Kuseryansyah menuturkan kehadiran investor besar itu juga sangat dibutuhkan perusahaan fintech lending untuk meningkatkan permodalan. “Mereka jadi back up dari permodalan untuk kepentingan ekspansi, dan ini secara bertahap akan semakin banyak,” katanya. Peluang pasar yang bisa dioptimalisasi oleh industri fintech lending menurut dia juga masih terbuka lebar.
Pasca diguncang maraknya pelaku fintech lending ilegal yang bertebaran dan meresahkan konsumen, pelaku fintech lending legal berupaya kembali membangun ekosistem yang kondusif.
“Adanya banyak fintech ilegal yang yang diblokir kemarin menunjukkan market kita sangat besar, dan ketika mereka diblokir, kebutuhan konsumen kan tidak hilang, tetap ada, sehingga ini yang secara bertahap digarap oleh kami yang legal,” ujar Kuseryansyah.
Adapun hingga 21 Desember 2018, OJK mencatat total ada 88 perusahaan fintech yang terdaftar dan berizin. Industri pun berharap dukungan dari pemerintah untuk mempercepat ekspansi dan mendorong peningkatan signifikan kontribusi fintech terhadap perekonomian. “Dukungannya seperti pembukaan akses identitas digital (digital ID) dan biometrik oleh fintech lending, pembenahan dan sinkronisasi e-KTP untuk mempermudah proses filter dan seleksi konsumen agar lebih cepat dan mencapai jangkauan yang lebih luas.”
<!--more-->
Tahapan berikutnya, fintech lending juga berkomitmen untuk menggenjot jumlah pemberi pinjaman individu (personal lender) yang kini penetrasinya masih rendah. “Ini bertahap juga prosesnya karena ini berhubungan dengan rasa percaya (trust) lender terhadap fintech lending, sekarang banyak yang masih tahap observasi dulu,” katanya. “Ke depan ini akan semakin prospektif juga sebagai sarana investasi khususnya untuk segmen milenial.”
Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya membenarkan pendanaan yang didapatkan dari modal ventura di antaranya digunakan untuk kebutuhan ekspansi. Tahun lalu, Modalku mendapatkan pendanaan Seri B senilai US$ 25 juta dari Softbank Ventures. “Kami gunakan untuk ekspansi usaha, ekspansi produk, dan rekrutmen kebanyakan,” ucapnya.
Tahun ini, Modalku pun membidik perluasan pasar ke salah satu negara di Asia Tenggara, namun perusahaan masih merahasiakan detil rencana tersebut. “Kami sudah membentuk tim di negara tersebut, semoga Februari sudah soft launch.”
Jumlah investor Modalku hingga saat ini tercatat mencapai 600 ribu, yang didominasi oleh investor ritel, yang mana 40 persennya merupakan milenial. Jika dilihat berdasarkan nilai investasi, dominasinya dipegang oleh investor institusional. “Strategi kami tahun ini untuk menggenjot investor adalah pendalaman penetrasi produk, lebih banyak lagi orang yang ditargetkan,” katanya. Investor atau pemberi pinjaman di Modalku dapat memulai dari nominal Rp 100 ribu, dengan imbal hasil yang ditawarkan hingga 20 persen per tahun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara berujar meski investasi di bidang fintech lending masih menjanjikan, terdapat sejumlah faktor yang harus diwaspadai oleh pelaku usaha, sebab dapat berpengaruh pada minat investor. “Ini perihal tren kenaikan suku bunga yang akan berdampak pada lebih mahalnya bunga pinjaman fintech, sehingga risiko kredit macet harus diantisipasi di tengah kondisi ekonomi yang memang cenderung melambat,” ujarnya.
Dia menuturkan perusahaan fintech lending harus konsisten menjaga performanya, khususnya indikator rasio kredit macet (NPL). “Investor yang berminat masuk tentu akan lebih selektif kepada fintech yang punya track record bagus, misalnya bisa mengendalikan risiko NPL di bawah 1 persen, itu yang akan jadi incaran.”