Tiket Pesawat Mahal, Kemenhub Diminta Ungkap Tarif yang Wajar
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 22 Januari 2019 15:18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara Muhammad Said Didu meminta Kementerian Perhubungan mengeluarkan hitungan rasional harga tiket pesawat per kursi. Pasalnya, belakangan ini tarif tiket pesawat itu menjadi perbincangan di kalangan masyarakat lantaran dinilai kemahalan.
BACA: Menhub Yakin Tidak Ada Kartel Tiket Pesawat
"Menurut saya, Kemenhub sebagai regulator harus keluarkan rasionalitas penerbangan itu berapa. Kalau terlalu murah juga kita harus hati-hati," ujar Said Didu di Kantor Sekretariat Nasional Prabowo - Sandiaga, Jakarta, Selasa, 22 Januari 2019.
Berdasarkan perhitungan Didu, melambungnya tiket pesawat beberapa waktu ke belakang terjadi karena maskapai penerbangan, khususnya Lion Air sudah terlalu lama memberi tarif murah. "Akhirnya kena masalah," ujar dia. Akhirnya, harga tiket itu mulai kembali kisaran normal.
Pada dasarnya, ongkos operasi setiap pesawat, menurut Didu, tidak bakal berbeda jauh. Pasalnya, ada beberapa komponen biaya operasioanal yang harganya sama yaitu harga pesawat, baik cicilan mauoun sewa, harga avtur, hingga gaji pilot. Perbedaan kemungkinan terjadi pada efisiensi penerbangan.
Berdasarkan perhitungannya, Didu mengatakan tarif penerbangan normalnua adalah Rp 800 ribu per kursi per jam. "Jadi ke Surabaya kisarannya segitu, ke Makassar normalnya Rp 1,6 juta dengan tingkat keterisian 70 persen," tutur Didu. "Kalau dibawah itu artinya ada yang dikorbankan, seperti maintenance."
Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA) I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra alias Ari Askhara menyebut maskapai bisa menekan harga tiket pesawat apabila harga avtur bisa turun. "Untuk itu kami meminta Pertamina menurunkan harga avtur 10 persen," ujar pria yang juga menjabat Direktur Utama Garuda Indonesia itu di Penang Bistro, Jakarta, Selasa, 15 Januari 2019.
<!--more-->
Biaya bahan bakar pesawat memang memberi kontribusi 40 hingga 45 persen untuk ongkos penerbangan pesawat. Dengan demikian tinggi rendahnya harga avtur tentu berpengaruh terhadap harga tiket pesawat yang belakangan melambung tinggi. "Kalau Pertamina menurunkan, kami juga bisa turunkan (harga tiket)," tutur Ari.
Selain Avtur, Komponen biaya operasional lainnya adalah adalah leasing pesawat sebesar 20 persen. Persoalannya, saat ini maskapai tidak punya banyak pilihan terkait leasing ini. Perusahaan leasing didominasi oleh Amerika Serikat dan Eropa. "Baru-baru ini Cina dan Jepang menyuplai dengan competitiveness suku bunga lebih rendah, tapi aksesibilitas mereka tidak seperti AS dan Eropa," ujar dia.
Setelah itu, Ari menyebut komponen pembentuk ongkos penerbangan lainnya adalah perawatan pesawat alias maintenance sebesar 10 persen. Dalam hal maintenance, maskapai sangat bergantung kepada dua perusahaan besar Airbus dan Boeing lantaran yang memiliki lisensi. "Jadi ini pasar oligopoli, kami tergantung kepada fluktuasi airbus dan boeing."
Sementara komponen lainnya yang membentuk harga adalah gaji pegawai sebesar 10 persen. "Pegawai ini adalah masyarakat Indonesia yang perlu makan jadi masuk dalam komponen," ujar Ari. Sisanya adalah komponen-komponen lain yang relatif lebih kecil kontribusinya.
Dari biaya penerbangan itu, maskapai mengambil margin keuntungan di kisaran 1-3 persen. Margin 3 persen diperoleh bila penerbangan dipatok di kisaran tarif batas atas. Adapun tarif batas atas Indonesia, menurut Ari, belum naik lagi sejak 2016 lantaran memperhatikan daya beli masyarakat.
Dampaknya, Ari menceritakan bahwa Garuda Indonesia tetap didera kerugian meski telah memasang harga sesuai dengan tarif batas atas. Untuk itu, dia mengatakan perseroan mesti memikirkan pemasukan lain di luar tiket pesawat. "Sekarang diminta turun, kalau kami menurunkan gaji pilot pasti didemo lagi," ujar dia. "Tapi sekarang kami berinisiatif menurunkan tarif penerbangan meski cost enggak turun."