Upaya BI Mengendalikan Dolar Dinilai Tak Cukup Menguatkan Rupiah
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 3 Januari 2019 06:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Serangkaian upaya Bank Indonesia mengurangi ketergantungan dolar AS dalam transaksi perdagangan ekspor impor dinilai tak cukup efisien memperkuat kurs rupiah. Adapun upaya tersebut di antaranya adalah kerja sama penerapan local currency settlement (LSC) dan bilateral swap dengan sejumlah negara.
Baca: Awal 2019, Kurs Rupiah Jisdor Menguat ke Rp 14.465 per Dolar AS
“Karena pergerakan rupiah bukan hanya dipengaruhi oleh supply demand valas untuk ekspor impor, tapi utamanya dari pergerakan aliran modal portofolio asing, ini yang sering kali menghantam rupiah,” ujar Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, kepada Tempo, Rabu 2 Januari 2019.
Piter mencontohkan hal itu tercermin dari pergerakan modal asing tahun lalu, ketika investor asing meutuskan untuk memindahkan investasi dari Indonesia seiring dengan penguatan dolar AS dan tren kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed). “Saat itu rupiah langsung bergerak melemah luar biasa, dan ketika aliran modal asing defisit tdak cukup menutup defisit neraca transaksi berjalan (CAD).” Dengan demikian, menurut dia, dampak dari serangkaian kesepakatan seperti LSC dan bilateral swap tak begitu besar terhadap stabilitas kurs rupiah.
Meski demikian, menurut Piter kebijakan pengendalian dolar AS dalam transaksi dagang itu tetap perlu dioptimalkan untuk memitigasi tekanan pada kebutuhan valas untuk membiayai ekspor impor. “Dan karena ini memang lebih mudah untuk dikontrol dibandingkan dengan upaya perbaikan struktur modal asing yang gampang-gampang susah,” katanya.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Yoga Afffandi pun mengungkapkan perkembangan penerapan kebijakan LCS yang telah tersedia antara BI dengan Bank Negara Malaysia dan Bank of Thailand, sejak pertama kali diterapkan pada awal Januari 2018. Hingga pekan kedua Desember 2018, total transaksi LCS menggunakan Thailand Bath (THB) dan Ringgit Malaysia (MYR) masing-masing mencapai US$ 1,5 miliar dan US$ 495 juta. “Untuk efektivitasnya tentu akan kami kaji dan melihat berbagai hal untuk meningkatkan volumenya,” ujarnya, kepada Tempo.
Kerja sama LCS dilakukan berdasarkan pertimbangan jalinan hubungan perdagangan yang era tantara Indonesia dengan Thailand dan Malaysia. Adapun kedua negara tersebit masuk ke dalam sepuluh besar mitra dagang utama Indonesia. Bank Indonesia pun telah menerbitkan peraturan penyelesaian transaksi perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal, yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19 / 11 / PBI / 2017.
Yoga menuturkan dengan upaya tersebut diharapkan akan membantu mengurangi ketergantungan perdagangan yang selama ini sangat mengandalkan dolar AS. Dengan demikian, pasar mata uang regional dapat berkembang dan memperkuat akses pelaku usaha dalam membayar kewajibannya menggunakan mata uang lokal.
Dia menambahkan ke depan tak menutup kemungkinan bank sentral juga akan memperluas kerja sama tersebut dengan bank sentral negara lain. “Kami sedang mengkaji hal itu,”
Baca: 2019, Nilai Tukar Rupiah Masih Banyak Bergantung Ekonomi Global
Sementara itu, untuk kebijakan bilateral swap menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo telah dilakukan efektif dengan sejumlah negara. Hal itu di antaranya untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi antar pelaku ekonomi kedua negara, menggunakan mata uang lokal masing-masing seperti rupiah. “Ke depan kerja sama semacam ini akan diperkuat dan diperluas,” katanya.