TEMPO Interaktif, Jakarta:Kenaikan listrik dan bahan bakar minyak hanya mempengaruhi 2,5 persen biaya produksi sepatu, kata Sekjen Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Djimanto, kepada wartawan di BEJ, Kamis (3/01). Ia mengatakan produk sepatu berbeda dengan semen atau industri lain yang padat energi. Industri sepatu kemungkinan akan mengkompensasi kenaikan biaya produksi dengan penurunan mutu atau menaikkan harga. Djimanto memperkirakan pengusaha sepatu akan memilih menurunkan kualitas daripada menaikkan harga. Asumsi ini diambil dengan pencermatan terhadap perkembangan kemampuan masyarakat, bahwa daya beli masyarakat tidak naik. “Maka kami sarankan untuk menurunkan mutunya,” kata dia. Langkah ini juga bisa mempertahankan besar produksi sehingga tidak terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan. “Karena kalau utility capacity (pemanfaatan kapasitas) perusahaan rendah, itu kan namanya bunuh diri,” kata Djimanto. Ia mengatakan saat ini biaya rata-rata pembuatan sepasang sepatu adalah US$13. Sepatu tersebut diekspor, yang 40 persen masuk Amerika Serikat dan 30 persen Uni Eropa. Sisanya dikirim ke Jepang, Australia, Timur Tengah, dan Amerika Latin. (andi dewanto-tempo news room)