Jokowi Kembali Panggil Menteri Ekonomi Bahas Pelemahan Rupiah
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 4 September 2018 15:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali memanggil para menteri ekonomi dan kepala lembaga ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan dalam pertemuan itu dibahas sejumlah strategi menghadapi pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mencapai level Rp 14.800 pada pertengahan hari ini.
Baca: Jokowi Divonis Bersalah Kasus Kebakaran Hutan: Kita Hormati
"Tapi, tadi jauh lebih banyak bicara mengenai ekspor walau yang lain dibahas juga, misalnya TKDN (tingkat komponen dalam negeri)," kata Darmin, Selasa, 4 September 2018. "Tapi yang paling dibahas ekspor."
Darmin menjelaskan, pembahasan pada hari ni menjadi semakin rinci, supaya langkah-langkah yang akan diambil menjadi lebih konkret. Pada dasarnya, pemerintah ingin fokus dalam hal ekspor.
Terkait hal itu, pemerintah akan mengumumkan kebijakan ekspor dalam waktu dekat. "Ada yang menyangkut SDA (sumber daya alam), termasuk batubara. Ada juga yang menyangkut industri, pariwisata. Kita juga membicarakan secara detail B20 sudah bagaimana, dan B20 sudah sangat siap. (Pertemuan juga) ada Pertamina PLN. Tapi, PLN lebih banyak mengenai TKDN," kata Darmin.
Lebih jauh, Darmin mengatakan Presiden Jokowi menginginkan supaya kebijakan dan langkah-langkah yang diambil benar-benar konkret. Dalam waktu 1-2 hari ke depan, pemerintah akan menjelaskan mengenai kebijakan ekspor, termasuk soal target dan negara tujuan. "Ada matriksnya, istilah Presiden," ucapnya.
Dalam matriks tersebut, kata Darmin, akan dipaparkan kebijakan terkait impor, sektor kelistrikan, infrastruktur jembatan, dan lain-lain. "Memang itu perlu rinci sekali, sehingga nanti kita bisa memprediksi seperti apa perkembangan sebulan ke depan," katanya.
Darmin juga memastikan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat pada saat ini. Salah satu kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia pada saat ini adalah defisit transaksi berjalan yang mencapai 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Seperti diketahui, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 8 miliar pada kuartal II di 2018 atau sekitar 3 persen dibandingkan dengan PDB Indonesia yang mencapai Rp 3.684 triliun pada kuartal II di 2018. Darmin mengatakan defisit transaksi berjalan Indonesia masih lebih kecil dibandingkan dengan Brasil, Turki dan Argentina.
Baca: Jokowi Ditawari Pinjaman US$ 1 Miliar untuk Proyek Infrastruktur
Menurut Darmin, kelemahan dalam perekonomian selama ini ada pada transaksi berjalan. "Ini bukan penyakit baru. Dari 40 tahun yang lalu transaksi berjalan, kita itu defisit. Memang ini agak besar tapi tidak setinggi 2014, tidak setinggi tahun 1994-1995, tidak setinggi tahun 1984," ucapnya usai bertemu dengan Presiden Jokowi.
BISNIS