Redam Dampak Gejolak Global, Ini Lima Strategi Bank Indonesia
Reporter
Adam Prireza
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 11 Mei 2018 21:00 WIB
TEMPO.CO, JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan Bank Indonesia telah siap untuk mengatasi dampak dari gejolak pasar global yang saat ini terjadi. Ia pun mengutarakan lima langkah stabilisasi yang akan dan tengah dilakukan BI.
"BI akan merespon kondisi perekonomian Indonesia dengan lima langkah stabilisasi," tutur dia saat konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 11 Mei 2018.
Pertama, kata Agus, adalah bahwa BI akan selalu berada di pasar, khususnya saat pasar global masih bergejolak. Tujuannya adalah untuk menjaga kenyamanan pasar serta likuiditas dalam jumlah yang memadai, baik itu valas maupun rupiah.
Kemudian, Agus menyebut bahwa BI akan terus memantau kondisi perkembangan perekonomian global, serta dampaknya terhadap Indonesia. Ia juga mengatakan BI akan menyiapkan benteng pertahanan perekonomian baris kedua bersama bank sentral maupun lembaga internasional lainnya.\
Simak: Ketidakspastian Global, BI Dorong Stabilisasi Ekonomi Makro ASEAN
Langkah selanjutnya menurut Agus adalah dengan membuka opsi untuk melakukan penyesuaian suku bunga acuan melalui BI 7-Days Reverse Repo Rate (7-DRRR).
"Penyesuaian BI 7-DRRR akan diambil secara hati-hati dan terukur. Tujuanya untuk memastikan stabilitas dalam mendukung kesinambungan ekonomi Indonesia," ujar dia.
Terakhir, Bank Indonesia, kata Agus, akan tetap menjaga koordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan lembaga penjaga simpanan untuk bersama-sama menjaga berjalannya transaksi dan menjaga inflasi.
Seperti diketahui sebelumnya, akibat bergejolaknya pasar global, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah melebihi batas psikologisnya, yaitu Rp 14.000. Pada hari ini, nilai tukar rupiah dibuka pada level Rp 14.073 per dolar AS.
Gejolak itu sendiri diakibatkan oleh beberapa hal, seperti rencana bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunganya, ketegangan dunia perdagangan antara AS dan Tiongkok, serta Presiden Donald Trump yang membatalakan perjanjian nuklirnya dengan Iran.