Kemenkeu Klaim Utang untuk Belanja Produktif, Ini Buktinya
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 6 April 2018 15:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, menjelaskan bahwa efektifitas penggunaan utang oleh pemerintah pusat dapat dilihat dari bagaimana struktur belanjanya. "Belanja sudah terpakai buat apa, itu yang menjadi acuan efektifitas utang. Kami ingin belanja berkualitas dan produktif, kami tidak ingin belanja yang sifatnya tidak produktif," kata Luky dalam temu media di Jakarta, Jumat, 6 April 2018.
Luky menjelaskan upaya meningkatkan kualitas belanja dilakukan melalui pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak 2015 karena dinilai tidak tepat sasaran sebab penerimanya adalah pengguna kendaraan yang kebanyakan orang mampu. "Subsidi BBM juga sifatnya konsumtif karena habis pada tahun itu juga. Kalau utang untuk yang sifatnya konsumtif tidak adil karena generasi mendatang yang akan menanggung," kata Luky.
Baca: Tiga Masalah Utang Luar Negeri Indonesia Versi Indef
Belanja prioritas pemerintah saat ini adalah sektor infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua sektor belanja prioritas tersebut sifatnya investasi atau terdapat jangka waktu hingga hasilnya dapat dinikmati.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, tambahan utang kumulatif untuk infrastruktur meningkat dari Rp 456,1 triliun pada periode 2012-2014 menjadi Rp 904,6 triliun (2015-2017). Sementara tambahan utang kumulatif untuk pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial) meningkat dari Rp 1.164,8 pada periode 2012-2014 menjadi Rp 1.716,5 triliun selama periode 2015-2017. "Banyak sifat belanja yang tidak bisa ditunda lagi. Makanya keputusan politik anggaran masih defisit Rp 325,9 triliun (APBN 2018)," kata Luky.
Ekonom senior Indef Faisal Basri sebelumnya mengatakan pembiayaan infrastruktur tidak menjadi masalah pada 2015 karena dibiayai dari pengurangan subsidi BBM yang mencapai sekitar Rp 150 triliun. "Dampak pengurangan subsidi BMM ini hanya sekali, sesudah itu subsidinya tidak bisa diturunkan lebih besar lagi," kata Faisal dalam diskusi menyoal utang di Jakarta, Selasa lalu. Ia juga menyoroti peningkatan belanja infrastruktur masih belum dibarengi degan peningkatan rasio pajak.
ANTARA