Nilai Aset Freeport Bisa Turun Drastis Karena Ini
Reporter
Robby Irfany
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 13 Maret 2018 07:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga pendanaan asal Jerman, Deutsche Bank, merilis studi yang menyatakan 40 persen nilai aset tambang Grasberg milik PT Freeport Indonesia di Papua bisa mencapai US$ 7,5 miliar. Namun angka ini bisa berkurang drastis hingga US$ 2 miliar karena beragam sebab, salah satunya adalah masalah lingkungan.
Sementara total nilai tambang Grasberg, berdasarkan perhitungan Deutsche Bank, bisa mencapai US$ 23 miliar dolar. Beragam sebab tersebut juga bisa menurunkan 100 persen nilai jual ke US$ 8 miliar. "Penempatan pasir sisa tambang Freeport tidak mencerminkan pengelolaan lingkungan yang baik bagi beberapa investor multinasional," tulis Deutsche bank dalam salinan laporannya yang diperoleh Tempo, Senin 12 Senin 2018.
Berdasarkan laporan tahun 2017 Freeport McMoran ke Komisi Sekuritas dan Bursa Saham (SEC) Amerika Serikat, pasir sisa tambang dibuang melalui sungai Ajkwa. Limbah kemudian ditampung dalam kolam khusus yang bernama Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA). Namun, tahun lalu Badan Pemeriksa Keuangan menemukan limbah meluber dari area penampungan sehingga mencemari hutan, sungai, muara, hingga laut. Potensi kerugian lantaran kejadian ini mencapai Rp 185 triliun.
Selain masalah lingkungan, faktor lainnya yang menyebabkan nilai tambang Grasberg berfluktuasi adalah kondisi geopolitik, rencana pembangunan fasilitas pemurnian tembaga (smelter), ataupun kebijakan fiskal pemerintah. Deutsche Bank bahkan menyebut, faktor tersebut bisa menjadi peluang menguntungkan investor yang hendak hengkang dari Freeport Indonesia, salah satunya adalah Rio Tinto--perusahaan tambang yang memiliki 40 persen kepemilikan Grasberg mulai 2022 mendatang. Rio Tinto bisa mendapat pendanaan lebih besar dari negara-negara Skandinavia jika perusahaan mencoret Freeport dari portofolio investasinya.
Rio Tinto masuk ke tambang Grasberg melalui perjanjian partisipasinya bersama Freeport McMoran tahun 1996 silam. Akad diteken sebagai ganti kucuran dana perusahaan untuk penemuan cadangan mineral di Blok A tambang Grasberg milik Freeport di Papua. Sebagai gantinya, Rio Tinto berhak atas 40 persen aset dan produksi tertentu di Blok A.
Induk usaha pertambangan pelat merah PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)--yang memburu saham partisipasi Rio Tinto--menyatakan mengetahui kajian tersebut. Namun, menurut Vice President Corporate Communications Inalum Rendy Witular, pihaknya memiliki perhitungan sendiri. "Kami sudah mengetahui kajian tersebut. Namun kami mempunyai kalkulasi sendiri. Kami tidak bisa membukanya karena masih dalam tahap negosiasi," kata Rendy kepada Tempo.
Jika transaksi selesai, Inalum bakal mengincar sisa 5 persen saham Freeport Indonesia untuk mencapai kepemilikan 51 persen. Pemerintah menargetkan pembelian saham bisa rampung pada Juni mendatang. Divestasi adalah syarat kelanjutan operasi Freeport hingga 2041 selain kewajiban membangun smelter dan stabilitas kewajiban fiskal.
Hingga berita ini ditulis, Juru Bicara Freeport Riza Pratama tidak menjawab konfirmasi soal risiko fluktuasi nilai jual dan persoalan lingkungan. Namun laporan resmi Freeport McMoran menyatakan pengaliran limbah melalui sungai ke kolam khusus adalah cara yang paling murah dan minim risiko.
