Hasil RUPSLB PGN Batal Jika PP Holding Tak Terbit dalam Dua Bulan
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 25 Januari 2018 19:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) PT PGN (Persero) Tbk telah menyepakati pengalihan aset perseroan ke PT Pertamina (Persero) dalam rangka pembentukan induk perusahaan (holding) Badan Usaha Milik Negara bidang minyak dan gas. Kendati telah disepakati, hasil RUPSLB tersebut masih mungkin batal dalam waktu dua bulan.
Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan hasil RUPSLB tersebut hanya berlaku hingga 60 hari sejak disepakati. Hasil itu akan batal jika sampai akhir periode tersebut pemerintah belum juga menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina (PP Holding).
"Apabila dalam 60 hari PP Holding belum ditandatangani maka hasil RUPSLB hari ini batal demi hukum," kata Rachmat dalam konferensi pers di Hotel Four Season, Jakarta, Kamis, 25 Januari 2018.
Simak: PGN Targetkan Batam Menjadi Kota Gas Bumi
Rachmat menyampaikan, pembentukan holding migas baru akan terealisasi jika PP Holding terbit. Adapun RPP Holding tersebut, ujar Rachmat, saat ini belum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Nantinya, terbitnya PP akan ditindaklanjuti dengan pengalihan saham Seri B milik pemerintah di PGN kepada Pertamina melalui akta pengalihan.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menegaskan, hasil RUPSLB PGN hari ini yakni perubahan anggaran dasar terkait pengalihan aset, belum proses pengalihan aset itu sendiri.
"Kalau PP (Holding) sudah keluar, akan ada RUPS Pertamina. Namanya akta pengalihan, baru pengalihan saham terjadi," tutur Fajar.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat mengingatkan bahwa pembentukan holding BUMN migas, termasuk PGN dan Pertagas, harus melalui persetujuan parlemen. Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Achmad Hafisz Thohir mengatakan hal itu diatur dalam Undang-undang tentang BUMN Nomor 19 Tahun 2003 dan UU tentang Minyak Bumi dan Gas Nomor 22 Tahun 2001.
Achmad menilai pembentukan holding akan sulit terkonsolidasi dan bermasalah secara akuntan. Musababnya, menurut dia, pemerintah mempertahankan status BUMN pada perusahaan yang dijadikan anak holding dengan menyisakan sebagian kecil saham dwiwarna.
"Nanti bermasalah, kan keuntungan akan dikonsentrasi menjadi modal pada tahun berikutnya," kata Achmad, seperti dilansir Bisnis.com pada Selasa, 23 Januari 2018.