IMF: Suku Bunga Rendah, Pasar Keuangan Berisiko Tinggi  

Reporter

Rabu, 30 September 2015 09:24 WIB

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde. TEMPO/Dhemas Reviyanto

TEMPO.CO, Jakarta - Pasar keuangan menghadapi risiko yang lebih tinggi yakni tekanan likuiditas dalam menjual aset-aset akibat pengaruh suku bunga rendah yang berkepanjangan, kata Dana Moneter Internasional, Selasa (29 September 2015).

Menurut AFP, dalam laporan semi-tahunan tentang stabilitas keuangan global, IMF mengatakan bahwa pasar-pasar untuk perdagangan ekuitas, obligasi, mata uang dan instrumen lainnya secara umum tampak likuid pada saat ini.

Tetapi likuiditas itu -- kemampuan pedagang untuk dengan mudah membeli atau menjual aset-aset dalam volume besar -- bisa sulit terjadi dalam lingkungan saat ini sehingga menyebabkan pasar lebih bergejolak dan merongrong stabilitas keuangan.

"Bank-bank sentral dan pengawas keuangan perlu dipersiapkan untuk episode gangguan likuiditas," kata ekonom IMF Gaston Gelos, salah satu penulis dari laporan terbaru itu.

"Tingkat likuiditas di pasar-pasar keuangan ... belum menunjukkan tanda-tanda menurun di sebagian besar kelas aset; namun demikian, suku bunga rendah dapat menutupi erosi ketahanan yang mendasarinya," kata laporan itu.

"Dalam kondisi ekstrim, penurunan tajam dalam likuiditas dapat mengancam stabilitas keuangan karena beberapa pasar aset, misalnya, pasar obligasi dan repo bisa membeku sama sekali -- seperti yang terlihat dalam krisis keuangan global," katanya.

IMF mencatat bahwa dalam krisis pada 2008, guncangan likuiditas di salah satu pasar menyebabkan reaksi berantai di pasar lain yang menyebabkan guncangan di seluruh sistem keuangan.

Bagian dari masalah, juga, adalah bahwa tingkat suku bunga rendah telah mendorong banyak lagi perusahaan di pasar negara-negara berkembang untuk meminjam dana luar negeri, terutama melalui penerbitan obligasi.

Pinjaman oleh perusahaan-perusahaan telah meningkat empat kali lipat dalam satu dekade terakhir, IMF menunjukkan, dengan lonjakan terkait sikap suku bunga ultra-rendah Federal Reserve AS sejak 2008.

Namun laporan tersebut menanyakan apakah para peminjam, yang paling penting mereka di pasar negara-negara berkembang, telah mempersiapkan diri untuk suku bunga yang lebih tinggi, dan untuk penurunan dalam mata uang domestik mereka.

"Perkembangan ini membuat negara-negara berkembang lebih rentan terhadap kenaikan suku bunga, apresiasi dolar, dan peningkatan penghindaran risiko global," kata Gelos.

Laporan itu memperingatkan bahwa pemerintah negara-negara berkembang harus mempersiapkan diri untuk kesulitan dan kegagalan perusahaan lebih besar, dan harus mereformasi aturan untuk membuatnya lebih mudah menyelesaikan "insolvencies" perusahaan.

ANTARA

Berita terkait

Lagi-lagi Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini di Level Rp 16.259 per Dolar AS

1 hari lalu

Lagi-lagi Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini di Level Rp 16.259 per Dolar AS

Kurs rupiah dalam perdagangan hari ini ditutup melemah 4 poin ke level Rp 16.259 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

BNI Sampaikan Langkah Hadapi Geopolitik Global dan Kenaikan Suku Bunga

1 hari lalu

BNI Sampaikan Langkah Hadapi Geopolitik Global dan Kenaikan Suku Bunga

PT Bank Negara Indonesia atau BNI bersiap menghadapi perkembangan geopolitik global, nilai tukar, tekanan inflasi, serta suku bunga.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Temui Wapres, Bahas Mitigasi Dampak Geopolitik Timur Tengah

1 hari lalu

Sri Mulyani Temui Wapres, Bahas Mitigasi Dampak Geopolitik Timur Tengah

Menteri Keuangan Sri Mulyani menemui Wakil Presiden Maruf Amin untuk melaporkan hasil pertemuan IMF-World Bank Spring Meeting dan G20 yang saya hadiri di Washington DC. pekan lalu. Dalam pertemuan itu, Sri Mulyani pun membahas mitigasi dampak geopolitik di Timur Tengah.

Baca Selengkapnya

BNI Telah Salurkan Kredit hingga Rp 695,16 Triliun per Kuartal I 2024

1 hari lalu

BNI Telah Salurkan Kredit hingga Rp 695,16 Triliun per Kuartal I 2024

Tiga bulan pertama 2024, kredit BNI utamanya terdistribusi ke segmen kredit korporasi swasta.

Baca Selengkapnya

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, BCA Belum akan Ikuti

2 hari lalu

Suku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, BCA Belum akan Ikuti

BCA belum akan menaikkan suku bunga, pasca BI menaikkan suku bunga acuan ke angka 6,25 persen.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

5 hari lalu

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tensi geopolitik di Timur Tengah cenderung meningkat dan menjadi fokus perhatian para pemimpin dunia. Ia menegaskan kondisi ini mempengaruhi beberapa dampak ekonomi secara signifikan.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

5 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

5 hari lalu

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

Analis Ibrahim Assuaibi, memperkirakan rupiah hari ini fluktuatif dan akan ditutup menguat pada rentang Rp 16.150 sampai Rp 16.220 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

6 hari lalu

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.

Baca Selengkapnya

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

6 hari lalu

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

Baca Selengkapnya