Foto udara kebakaran hutan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, 18 September 2015. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan ada perusahaan Malaysia yang diduga turut andil dalam pembakaran hutan di Indonesia. ANTARA/Nova Wahyudi
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap potensi kebakaran hutan. Musababnya, selama ini pemerintah dituding lebih mengedepankan langkah reaktif terhadap peristiwa tahunan ini.
"KBH perlu segera direalisasi," ucap Roy Salam dari Indonesia Budget Center di Jakarta, Ahad, 20 September 2015. KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) adalah tim yang dibentuk pemerintah untuk mengawasi sejumlah area hutan. Tim tersebut berada di bawah komando pemerintah daerah dan diawasi pemerintah pusat.
Menurut Roy, tim tersebut akan sangat efektif dalam pencegahan kebakaran dengan menempatkan orang di dalam hutan. Hal ini agar dapat mengantisipasi langkah awal jika terjadi kebakaran.
Tapi, menurut Roy, mengaktifkan KPH merupakan hal yang tidak mudah. Selain dana pemerintah yang terbatas, diperlukan koordinasi yang komprehensif dan intensif antara pemerintah pusat dan daerah. Begitu pula kerja sama antarlembaga. "Pemerintah sudah merencanakan 120 KPH dari 120 juta hektare, tapi belum jalan karena tak ada dana," katanya.
Koordinator Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan Moh. Djauhari mengatakan pemerintah sebetulnya memiliki landasan hukum kuat untuk menindak para pelaku kebakaran. Melalui Undang-Undang Nomor 41 tentang Wilayah Hutan Milik Swasta, disebutkan bahwa area kebakaran adalah tanggung jawab si pemilik lahan.
"Tidak akan mudah bagi pemerintah untuk mengidentifikasi tersangkanya," ujarnya. Musababnya, jika saja perusahaan tersebut menyuruh orang lain untuk melakukan pembakaran, orang suruhan tersebutlah yang dijadikan tersangka meskipun bukan berasal dari perusahaan.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan pengawasan area hutan negara. Luas area yang ada berbanding terbalik dengan ketersediaan pegawai kehutanan di lapangan yang hanya di kisaran 14 ribu dan alokasi anggaran tak mencapai Rp 10 triliun. Bukan hanya KPH. Ada juga rencana membangun kawasan industri khusus berbasis kehutanan.
"Sudah ada rencana, tapi akan sulit mendapat dana," ujar Direktur Kehutanan Badan Perencana Pembangunan Nasional Basah Hernowo kepada Tempo, Jumat, 18 September 2015. Basah mengatakan sulitnya sektor kehutanan mendapat dana lebih karena sumbangan sektor kehutanan terjadap GDP yang hanya 0,09 persen.
Padahal, kata Basah, produk turunan yang berasal dari kehutanan merupakan komoditas olahan utama beberapa sektor lain. "Kertas, obat, daging, biofuel kan semua berasal dari hutan," katanya.