Keran Ekspor Tambang Dibuka, Potensi Investasi US$ 30 Miliar Bakal Raib?
Editor
Setiawan Adiwijaya
Rabu, 2 September 2015 04:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia mengancam akan menghentikan aktivitas pengolahan mineral dalam negeri jika relaksasi ekspor mineral diberlakukan. Bila keran ekspor dibuka, investasi fasilitas pengolahan dan pemurnian senilai US$ 30 miliar bakal lenyap begitu saja.
"Kebijakan relaksasi sangat aneh dan kontradiktif dengan komitmen pemerintah," ujar Jonatan Handojo, Business Development Growth Steel Group, induk usaha PT Indoferro, perusahaan penyedia jasa pengolahan dan pemurnian nikel, kepada Tempo, Selasa, 1 September 2015.
Baca: Bukan Ilusi, Naga Mini Hidup di Sekitar Kita
Undang-Undang Mineral dan Batu Bara mewajibkan perusahaan tambang mengolah dan memurnikan hasil tambangnya di luar negeri. Beleid ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014, yang melarang ekspor bahan tambang.
Namun, pemerintah berkilah, relaksasi ekspor bertujuan menyelamatkan devisa negara. Saat ini negara sedang membutuhkan mata uang dolar guna menguatkan rupiah yang trennya melemah belakangan ini.
Simak: Ustaz Pondok Pesantren Dibunuh Tamu Misterius
Selain itu, pemerintah hendak membantu perusahaan tambang yang kesulitan membangun smelter karena keuangan yang kembang-kempis. Ekspor bisa menambah cashflow perusahaan tersebut, sehingga pembangunan fasilitas pemurnian itu bisa kembali lancar.
Pemerintah memberi syarat, relaksasi ekspor bisa diberikan kepada perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang membangun smelter dengan progress fisik mencapai 30 persen. Komoditas yang diekspor adalah nikel, bauksit, dan lain-lain. Ekspor juga wajib diawasi dengan instrumen letter of credit (L/C).
Baca Juga: Ibu Ini Rampok 3 Bank dalam 30 Menit demi Biaya Pesta Anak
Jonatan mengatakan smelter PT Indoferro sendiri sudah mampu menghasilkan 125 ribu ton nickel pig iron (NPI) setiap tahun dengan kapasitas total 250 ribu ton. Jika relaksasi ekspor berlaku, otomatis pasokan pengolahan seret. Begitu juga yang dialami 20 perusahaan lain.
Adapun Kementerian Energi mengaku masih mengkaji penerapan wacana ini. "Pemberlakuannya bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Opsi alternatifnya belum ada," kata Direktur Jenderal Minerba Bambang Gatot Ariyono, Selasa, 1 September 2015.
ROBBY IRFANY
Berita Menarik:
Neelam Gill , Inikah Pacar Baru Zayn Malik?
Habis Ribut, Dor! Tentara Itu Tewas, Polisi-TNI Tegang Lagi