Serapan Belanja Kurang Produktif, Ubah Proyeksi ke 5,1%

Reporter

Jumat, 29 Mei 2015 05:48 WIB

Gubernur BI Agus DW Martowardojo, resmikan penerbitan uang NKRI pecahan seratus ribu rupiah di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, 18 Agustus 2014. TEMPO/Dian Triyuli Handoko

TEMPO.CO, Jakarta - Masih rendahnya realisasi konsumsi dan belanja modal pemerintah menjadi salah satu pertimbangan Gubernur Bank Indonesia Martowardojo untuk mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 5,1% dari perkiraan sebelumnya dalam kisaran 5,4%-5,8%, Kamis (28/5).


Angka teranyar perkiraan bank sentral itu lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan pemerintah sebelumnya yang juga belum lama ini memangkas proyeksi pertumbuhan dari 5,7% menjadi 5,4% PDB.


Adapun lembaga multilateral seperti Bank Dunia, ADB dan IMF sudah jauh-jauh hari memperkirakan penurunan laju ekonomi Indonesia, termasuk juga angka pertumbuhan di berbagai negara.


Pada intinya, revisi tersebut kian menguatkan perkiraan masih sulitnya perekonomian perekonomian di hampir semua negara yang pada ujungnya memberi kontribusi pelambatan pertumbuhan global.


Berbagai penyebab terjadinya pelambatan global tersebut sudah sering disebutkan seperti masih tertekannya harga komoditas, rendahnya harga minyak mentah dunia, faktor China dan lainnya.


Advertising
Advertising

Alhasil, pelambatan ekonomi yang dialami Tanah Air seharusnya tidak perlu dikhawatirkan karena secara umum, kondisi serupa juga terjadi di negara lain. Akan tetapi, faktor yang menjadi perhatian kali ini adalah sisi belanja yang masih rendah. Faktanya memang demikian.


Data Kementerian Keuangan hingga 15 Mei 2015 memperlihatkan pemerintah baru mampu merealisasi belanja negara Rp540,5 triliun atau setara 27,2% dari pagu APBN-P 2015 sebesar Rp1.984,1 triliun. Belanja itu terdiri dari penyerapan belanja pemerintah pusat yang sebesar Rp302,8 triliun atau 22,9% dari pagu.


Selain itu, belanja negara juga berasal dari transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp237,8 triliun. Namun, bila menilik pola penyerapan anggaran setiap tahunnya, realisasi belanja pemerintah pusat itu semestinya juga tidak perlu dikhawatirkan. Seperti dipahami, penyerapan belanja pada kuartal I selalu rendah karena proses tender baru dimulai.


Kuartal berikutnya, proyek sudah berjalan meskipun dalam kapasitas terbatas sesuai dengan dana yang diterima dalam bentuk uang muka. Dengan begitu, kuartal III dan IV penyerapan belanja pemerintah akan mencapai puncaknya.


Pola penyerapan anggaran itu seakan memperlihatkan bahwa semester II merupakan momentum pembuktian bagi pemerintah untuk dapat mengejar pertumbuhan di atas 5% PDB. Pemerintah harus dapat meyakinkan pelaku pasar dan pengusaha bahwa otoritas fiskal mampu mempertahankan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.


Keyakinan ini menjadi kunci karena pebisnis akan melihat secercah harapan bahwa pertumbuhan tahun lalu adalah titik terbawah dan pada tahun ini perekonomian mulai pulih. Yang penting, pemerintah harus benar-benar serius dalam upaya menarik lebih banyak investasi.


Untuk itu, selain mendorong pada upaya pemantauan penyerapan belanja harian ini mengingatkan pemerintah agar tetap mengedepankan strategi business friendly demi menarik investasi secara masif dan mempercepat realisasi berbagai proyek infrastruktur.


Apabila sisi investasi ini dapat digenjot, pertumbuhan diharapkan dapat terkerek di saat sisi konsumsi dan belanja pemerintah belum dapat diandalkan seperti yang terlihat pada kuartal I tahun ini. Selain itu, koordinasi antar-lembaga berkesinambungan dibutuhkan untuk mempercepat penyerapan belanja.


Koordinasi yang efektif itu diyakini akan mampu mengatasi berbagai kendala klasik, a.l. lahan dan perizinan seperti yang dialami Kementerian PU-Pera dan Kementerian Perhubungan. Seperti diketahui, kedua kementerian ini mencatat penyerapan paling rendah di antara kementerian lain pada kuartal I.


Apabila prakondisi di atas dapat segera terpenuhi, tidak mustahil kita akan melihat penyerapan belanja yang lebih optimal dan berkualitas. Disebut berkualitas karena memang seharusnya penyerapan belanja APBN-P 2015 ini berbeda dengan tahun sebelumnya.


Target penyerapan belanja tahun ini hingga 92% semestinya punya nilai tambah dibandingkan dengan realisasi penyerapan 95% pada tahun sebelumnya. Perbedaan itu terletak pada hilangnya belanja untuk subsidi BBM dengan jumlah signifikan.


Kualitas penyerapan belanja tahun ini seharusnya berbeda karena elemen subsidi BBM—yang sifatnya konsumtif dan tidak memiliki multiplier effect besar—sudah dicabut. Hal inilah yang membuat dampak positif ke pertumbuhan seharusnya lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu dengan serapan yang sama.


Dengan begitu, pada semester II ini belanja produktif akan terjadi karena muncul multiplier effect yang menetes pada sektor lain. Semoga saja.


BISNIS.COM

Berita terkait

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

11 jam lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

1 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

2 hari lalu

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

Zulhas percaya BI sebagai otoritas yang memiliki kewenangan akan mengatur kebijakan nilai tukar rupiah dengan baik di tengah gejolak geopolitik.

Baca Selengkapnya

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

2 hari lalu

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

Nilai tukar rupiah ditutup melemah 32 poin ke level Rp 16.187 per dolar AS dalam perdagangan hari ini.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

2 hari lalu

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.

Baca Selengkapnya

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

2 hari lalu

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

Baca Selengkapnya

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

2 hari lalu

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

BI mengungkapkan uang beredar dalam arti luas pada Maret 2024 tumbuh 7,2 persen yoy hingga mencapai Rp 8.888,4 triliun.

Baca Selengkapnya

Alipay Beroperasi di Indonesia? BI: Belum Ada Pengajuan Formal

2 hari lalu

Alipay Beroperasi di Indonesia? BI: Belum Ada Pengajuan Formal

Para pemohon termasuk perwakilan Ant Group sebagai pemilik aplikasi pembayaran Alipay bisa datang ke kantor BI untuk meminta pre-consultative meeting.

Baca Selengkapnya

Rupiah Diprediksi Stabil, Pasar Respons Positif Kenaikan BI Rate

2 hari lalu

Rupiah Diprediksi Stabil, Pasar Respons Positif Kenaikan BI Rate

Rupiah bergerak stabil seiring pasar respons positif kenaikan BI Rate.

Baca Selengkapnya

Tingginya Suku Bunga the Fed dan Geopolitik Timur Tengah, Biang Pelemahan Rupiah

3 hari lalu

Tingginya Suku Bunga the Fed dan Geopolitik Timur Tengah, Biang Pelemahan Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut pelemahan rupiah dipengaruhi oleh arah kebijakan moneter AS yang masih mempertahankan suku bunga tinggi.

Baca Selengkapnya