TEMPO Interaktif, Jakarta:Jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di sektor migas setiap tahun mengalami penurunan. Dengan penurunan tersebut, terdapat potensi penghematan biaya sampai US$ 52 juta. Menurut Deputi Umum Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) Bangun Usman Harahap, pada tahun ini ada pengurangan tenaga kerja asing pada kontraktor kontrak kerja sama (KKS). Usulan penggunaan tenaga kerja asing pada tahun ini sebanyak 983 orang, sedangkan persetujuan penggunaan tenaga kerja asing 833. Jadi ada selisih 150 orang. "Jika asumsi biaya tenaga kerja asing US$ 350.000 per orang per tahun, maka ada potensi penghematan US$ 52 juta." Bangun menjelaskan, adanya kontrak kerja sama mengharuskan kontraktor menggunakan tenaga kerja asing dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Umumnya penggunaan tenaga asing dilakukan bila kemampuannya sangat diperlukan dan bidang spesialisasinya sulit ditemukan di Indonesia. “BP Migas melakukan kontrol ketat kepada para tenaga kerja asing agar penggunaannya terkendali,” katanya. Sejak BP Migas berdiri 2002, realisasi rata-rata tenaga kerja asing 821 orang. Memasuki tahun ini realisasi rata-ratanya menurun hingga 764 orang. Ketua Asosiasi Pemboran Minyak, Gas, dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Bambang Suryohadi mengatakan, dalam sektor migas justru banyak tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, terutama dari Cina. “Bahkan di satu pemboran di Irian Jaya, seluruh pegawainya orang Cina,” jelasnya. Menurutnya, tentu ini sangat berlawanan dengan keinginan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja. Tenaga kerja asal Cina ini bukan hanya menempati posisi tinggi. Namun juga terdapat pada jajaran rendah pun. muhamad fasabeni
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
3 Oktober 2017
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
Pemerintah diminta segera mengambil sikap ihwal revisi Undang-undang Minyak dan Gas. Pengurus Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Migas Bambang Dwi Djanuarto?menilai pemerintah kurang responsif dalam menyelesaikan revisi UU Migas.
Mengesahkan undang-undang baru sebagai pengganti atau revisi UU Minyak Bumi dan Gas (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 adalah hal mendesak yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan DPR pada akhir tahun ini. Mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi Mahkamah Konstitusi (2003, 2007, dan 2012), di mana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan banyak pasal dari undang-undang tersebut.