Seorang pekerja memanen kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara XIII Lorong Pinang, Paser, Kaltim (28/09). Pengolahan kelapa sawit ini mampu memproduksi tandan buah segar (TBS) sebanyak 60 ton per-jam. TEMPO/Ayu Ambong
TEMPO.CO, Jakarta -- Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengatakan banyak perusahaan asing yang membuka anak usahanya dan berproduksi di wilayah Indonesia menghindari pembayaran pajak tinggi. Skandal pajak ini dikenal sebagai transfer pricing.
Selain itu, banyak perusahaan milik orang Indonesia yang mendirikan kantor pusat di Singapura untuk menghindari pembayaran pajak penghasilan (PPh) badan usaha maksimal di Indonesia. Tujuannya memanfaatkan tarif PPh badan usaha di Singapura yang lebih rendah ketimbang Indonesia. "Yang merugikan, misalnya, perusahaan sawit dan pertambangan," kata Fuad di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Kamis, 18 September 2014. (Baca: Transfer Pricing Tak Selalu Merugikan)
Fuad memberikan contoh praktek transfer pricing pada perusahaan sawit. Transfer pricing dimulai dari menjual sawitnya dengan harga murah. Di Singapura perusahaan yang masih terafiliasi menjual lagi ke tempat lain dengan harga lebih tinggi. Dengan tarif pajak rendah, cara seperti ini membuat perusahaan terafiliasi mengantongi keuntungan lebih besar. (Lihat: Ini Modus Permata Hijau Terbitkan Faktur Fiktif)
Menurut Fuad, cara-cara pengakalan pajak banyak terjadi di dunia. Secara hukum, tidak ada kesalahan dalam pendirian anak perusahaan di negara lain. Fuad mengatakan tidak ada unsur pidana dari aksi penghindaran pajak sebab perusahaan bertransaksi dengan baik, benar, disertai bukti akurat.
Pembayaran pajak di masing-masing negara juga dilakukan dengan benar dan tidak menyalahi aturan. Namun, aktivitas ini mengakibatkan negara tidak memperoleh pajak secara maksimal akibat bertransaksi yang seolah-olah dengan harga murah.