TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menurunkan target pertumbuhan ekonomi dari kisaran 5,7-6 persen menjadi 5,5 persen pada tahun ini. Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, mengatakan salah satu penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi tersebut adalah melambatnya pertumbuhan kredit karena kebijakan moneter ketat.
"Jika pemerintah menyebut perlambatan ekonomi karena ekspor merosot, saya kira ini lebih disebabkan adanya perlambatan kredit," kata Lana saat dihubungi Tempo, Sabtu, 10 Mei 2014. (Baca: Mengapa BI Pertahankan Kebijakan Moneter Ketat?)
Menurut Lana, perlambatan kredit cukup berperan besar dalam merosotnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama yang hanya mencapai 5,21 persen. Dia meminta pemerintah mulai mempertimbangkan kebijakan moneter ketat pada semester dua untuk kembali menggenjot pertumbuhan.
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan moneter ketat dengan tidak menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) dari posisi 7,5 persen. Menurut BI, kebijakan itu masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5 plus-minus 1 persen pada 2014 dan 4 plus-minus 1 persen pada 2015. Selain itu, kebijakan tersebut juga untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat.
"Tapi tentu harus melihat terlebih dulu kondisi defisit neraca transaksi berjalan. Jika setelah triwulan II membaik, saya kira sudah bisa dilakukan pelonggaran," katanya.
Lana mengaku optimistis target defisit transaksi berjalan sepanjang tahun ini bisa di bawah 2,5 persen. "Sebetulnya sudah membaik. Mudah-mudahan bisa di bawah 2,5 persen."
Berdasarkan laporan BI, defisit transaksi berjalan kuartal pertama 2014 sudah mulai memperlihatkan perbaikan, yaitu turun dari US$ 4,3 miliar (2,12 persen terhadap Produk Domestik Bruto) pada kuartal IV 2013 menjadi US$4,2 miliar (2,06 persen) pada kuartal I 2014. Perbaikan bersumber dari berkurangnya impor. Selain itu, defisit transaksi jasa dan pendapatan juga turun. (Baca: Inflasi Rendah, BI Tak Kendurkan Kebijakan Moneter)
ANGGA SUKMA WIJAYA
Berita Terpopuler:
Ini Dia Klub Baru Ryan Giggs
9 Jam Bersaksi Kasus Century, Boediono: Saya Lega
Sampar Hitam Membuat Manusia Kuat
Begini Gaya Kontroversial Olga Syahputra
Berita terkait
Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat
23 jam lalu
Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.
Baca SelengkapnyaMeski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit
1 hari lalu
PNM menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga dasar kredit meskipun BI telah menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen.
Baca SelengkapnyaBRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay
2 hari lalu
Bank Rakyat Indonesia atau BRI mengklaim telah mendapatkan izin untuk memproses transaksi pengguna Alipay.
Baca SelengkapnyaSuku Bunga Acuan Naik Jadi 6,25 Persen, BCA Belum akan Ikuti
2 hari lalu
BCA belum akan menaikkan suku bunga, pasca BI menaikkan suku bunga acuan ke angka 6,25 persen.
Baca SelengkapnyaKenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit
3 hari lalu
Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 6,25 persen bisa berdampak pada penyaluran kredit.
Baca SelengkapnyaBI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit
3 hari lalu
BI mempersiapkan perluasan cakupan sektor prioritas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).
Baca SelengkapnyaBI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini
3 hari lalu
BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.
Baca SelengkapnyaBI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini
4 hari lalu
BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.
Baca SelengkapnyaEkonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025
6 hari lalu
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.
Baca SelengkapnyaZulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi
6 hari lalu
Zulhas percaya BI sebagai otoritas yang memiliki kewenangan akan mengatur kebijakan nilai tukar rupiah dengan baik di tengah gejolak geopolitik.
Baca Selengkapnya