Menara Sutet di Jakarta (16/12). Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Fahmi Mochtar mengakui, wilayah Jakarta dan sekitarnya masih mengalami defisit listrik sebesar 50 megawatt. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R. Sukhyar menilai, pemerintah pada masa mendatang harus mulai serius mengkaji penggunaan energi nuklir. "Ini tak bisa dipungkiri, kebutuhan kita ke depan akan makin besar," ujarnya dalam diskusi Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Senopati, Jakarta, Jumat, 14 Maret 2014.
Hal tersebut merupakan salah satu ide soal kebijakan energi apa yang harus diambil jika Joko Widodo alias Jokowi benar-benar terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. "Saya kira siapa pun presidennya, elektrifikasi harus dikejar," tutur Sukhyar.
Lebih jauh, menurut Sukhyar, komitmen penggunaan energi nuklir harus disuarakan sejak awal karena butuh persiapan yang memakan waktu hingga bertahun-tahun. Penggunaannya pun membutuhkan komitmen langsung dari presiden. "Kalau presiden mengumumkan komitmennya sekarang, inspeksi keamanan sampai dampak sosial Dewan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency) itu butuh waktu 15 tahun," ujarnya. (baca: Jokowi Capres, IHSG Terbang Tinggi)
Sukhyar mengatakan rasio elektrifikasi Indonesia per September tahun lalu masih 80,1 persen. Artinya, masih ada 12,5 juta rumah tangga yang belum teraliri listrik.
Untuk mengejar rasio elektrifikasi itu, kata Sukhyar, pemerintah nantinya harus menggenjot penggunaan batu bara. Sebab, cadangan minyak makin menipis, sementara sumber energi baru dan terbarukan juga masih minim.