Grafik pergerakkan perdagangan saham. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Pada perdagangan bursa kemarin, indeks saham regional bergerak variatif merespons rencana pidato perdana Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang baru, Janet Yellen. Agenda pidato yang diprediksi hanya akan semakin menegaskan sikap The Fed dalam melanjutkan kebijakan pemangkasan dana stimulus (tapering off) tersebut menjadi katalis negatif yang mencemaskan pelaku pasar. Indeks harga saham gabungan (IHSG) kemarin sempat menembus level resistance 4.500, tetapi kembali terkoreksi 15,92 poin (0,36 persen) ke level 4.450,75.
Analis Trust Securities, Yusuf Nugraha, menyatakan langkah Yellen yang membiarkan laju tapering off US$ 20 miliar beberapa waktu belakangan dianggap mewakili sikapnya mendukung kebijakan moneter ketat. “Kekhawatiran atas pidato Yellen membuat pelaku pasar melepaskan kepemilikan saham,” ujarnya.
Di luar hal itu, tekanan terhadap indeks disinyalir juga datang dari ekspektasi terjadinya penyesuaian tingkat suku bunga acuan (BI rate). Neraca transaksi berjalan yang masih berjalan defisit di atas 3 persen dan laju inflasi Januari yang bergerak ke level 1,07 persen menguatkan kemungkinan perubahan BI rate. Tak ayal, kekhawatiran itu pun membuat sebagian laju sektor saham terus tertekan. “Selain faktor harga saham yang dianggap sudah jenuh beli (overbought), indeks juga tertekan ekspektasi BI rate,” Yusuf menjelaskan.
Meski demikian, hari ini Yusuf tetap merekomendasikan saham sektor konsumsi untuk dikoleksi pelaku pasar. Pasalnya, di tengah kondisi global yang masih tidak menentu, hanya industri yang bergerak di sektor konsumsi yang relatif dapat tumbuh secara signifikan. Mengantisipasi pidato Yellen, hari ini, indeks pun diprediksi hanya akan bergerak terbatas pada level 4.440–4.520. “Jauhi sektor saham yang rentan terhadap perubahan BI rate,” tuturnya.
Pekan Keempat Februari, Aliran Modal Asing Masuk Rp 1,01 Triliun
25 Februari 2024
Pekan Keempat Februari, Aliran Modal Asing Masuk Rp 1,01 Triliun
Aliran modal asing tetap surplus kendati ada penjualan Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), karena jumlah modal masuk ke pasar saham jauh lebih besar.