Faisal Basri Kritik Pernyataan Ekonomi Negatif  

Reporter

Editor

Budi Riza

Senin, 25 November 2013 20:00 WIB

TEMPO/Seto Wardhana

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengaku merasa bingung lantaran beberapa pejabat berbicara negatif mengenai perekonomian Indonesia. Padahal, investor asing saja masih berpandangan positif.

Ia mencontohkan kutipan pernyataan Menteri Keuangan Chatib Basri yang dilansir Bloomberg. "Menurut Chatib Basri, rupiah dan yield obligasi akan mengarah ke kondisi 2009. Eh, rakyat Indonesia buru-buru beli dolar karena rupiah akan melemah seperti tahun 2009 Rp 12.500," kata Faisal dalam DBS Asian Insight Seminar 2013 di Ritz Carlton, Jakarta, Senin, 25 November 2013.

Ia juga mengungkit pernyataan Chatib yang dikutip beberapa media ihwal tren pelemahan rupiah yang masih akan terjadi hingga awal 2014. Meski pernyataan itu dibantah Chatib.

Faisal juga mempertanyakan pidato Gubernur BI Agus Martowardojo di depan pelaku perbankan dan otoritas keuangan pada acara tahunan Banker's Dinner, 14 November 2013. Agus membuka pidatonya dengan mengatakan bahwa ada arus keluar modal asing yang deras sejak Gubernur Bank Sentral AS memberikan sinyal tapering off pada Mei 2013.

Ketika itu, Agus berujar, "Sinyalemen yang singkat, namun pengaruhnya mendunia. Sejak saat itu, hari demi hari hingga akhir Agustus lalu, ekonomi kita ditandai dengan derasnya aliran keluar modal portofolio asing, yang kemudian menekan nilai tukar rupiah dengan cukup tajam."

Pernyataan ini, kata Faisal, tidak benar. Mengacu pada data neraca transaksi modal dan finansial pada Neraca Pembayaran Indonesia yang dilansir BI, netto investasi portfolio masih positif. Pada triwulan I 2013 sebesar US$ 2,76 miliar, lalu naik menjadi US$ 3,39 miliar pada triwulan II 2013. Adapun pada triwulan III 2013 nilainya US$ 1,88 miliar. Menurut prediksinya, netto investasi portofolio tahun 2013 bisa melebihi 2012 yang mencapai US$ 9,2 miliar. "Indonesia tak ditinggalkan asing, ini faktanya," kata dia.

Ia menambahkan, asing bahkan masih percaya dengan ekonomi Indonesia. Ia menyebut, dari 70,5 persen utang pemerintah berupa Surat Utang Negara (SUN), sebanyak 1/3-nya dipegang asing. Sebanyak 42 persen SUN yang dipegang asing bertenor di atas 10 tahun, sedangkan yang bertenor di bawah 1 tahun cuma 4 persen. "Rakyat sendiri yang tidak percaya pada diri sendiri, asing percaya," kata dia. Lembaga pemeringkat internasional, Faisal menjelaskan, juga tak ada yang mengoreksi peringkat utang Indonesia.

Ihwal nilai tukar rupiah yang memburuk, Faisal juga membantah hal itu terjadi sejak Gubernur Bank Sentral AS memberi sinyal pengurangan stimulus moneter pada Mei 2013. Menurut Faisal, nilai tukar rupiah menurun sejak September 2011. Penyebabnya, menurut dia, defisit transaksi berjalan yang terjadi mulai triwulan terakhir 2011. Hal ini karena impor non-migas yang naik sedangkan ekspor non-migas turun.

Ia menilai defisit transaksi berjalan sebenarnya bukanlah suatu masalah. Semasa kepemimpinan Soeharto, defisit transaksi berjalan juga terjadi. "Tidak ada masalah defisit asal manageable, dan penyebabnya jelas apa. Impor banyak tapi untuk keperluan produktif, create tenaga kerja juga. Jadi tergantung strukturnya," ucapnya.

Menurutnya, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan struktural. Solusinya tak bisa dengan tiba-tiba mengerem pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan suku bunga. Ia menilai kuncinya ada di kebijakan pemerintah, misalnya dengan melakukan harmonisasi kebijakan bea masuk yang bertujuan untuk memberi insentif agar makin banyak produk yang diproduksi di dalam negeri. "Bea masuk bahan baku harus lebih rendah dari barang jadi," kata dia.

Ia mengatakan, Indonesia mengimpor makanan ringan enting-enting dari Cina lantaran bea masuk untuk produk jadi lebih rendah dibanding bea masuk bahan baku berupa gula. Walhasil, tak menguntungkan jika enting-enting diproduksi di domestik.

Ia juga mempertanyakan program mobil murah dan ramah lingkungan. Program itu dinilainya bermasalah. Pertama, bisa meningkatkan impor komponen mobil. Kedua, pemerintah tak mewajibkan produsen untuk ekspor, hanya mengimbau.


MARTHA THERTINA

Berita terkait

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

11 jam lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

1 hari lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

2 hari lalu

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tensi geopolitik di Timur Tengah cenderung meningkat dan menjadi fokus perhatian para pemimpin dunia. Ia menegaskan kondisi ini mempengaruhi beberapa dampak ekonomi secara signifikan.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

2 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

2 hari lalu

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

Analis Ibrahim Assuaibi, memperkirakan rupiah hari ini fluktuatif dan akan ditutup menguat pada rentang Rp 16.150 sampai Rp 16.220 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

3 hari lalu

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

Zulhas percaya BI sebagai otoritas yang memiliki kewenangan akan mengatur kebijakan nilai tukar rupiah dengan baik di tengah gejolak geopolitik.

Baca Selengkapnya

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

3 hari lalu

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

Nilai tukar rupiah ditutup melemah 32 poin ke level Rp 16.187 per dolar AS dalam perdagangan hari ini.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

3 hari lalu

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.

Baca Selengkapnya

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

3 hari lalu

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

Baca Selengkapnya

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

3 hari lalu

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

BI mengungkapkan uang beredar dalam arti luas pada Maret 2024 tumbuh 7,2 persen yoy hingga mencapai Rp 8.888,4 triliun.

Baca Selengkapnya