24 Desember 2006, Pesawat Lion Air jenis Boeing 737 400, dengan nomor penerbangan JT 792 PKLIJ, dari Jakarta-Gorontalo, tergelincir di Bandara Hasanuddin, Makassar, pukul 08.35 Wita. Seluruh penumpang selamat, sementara pesawat mengalami kerusakan. TEMPO/Kink Kusuma Rein
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Bimbingan Kepatuhan dan Layanan Informasi Kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok, Finari Manan, menceritakan awal mula terbongkarnya skandal ban bekas Lion Air. Menurut Finari, awalnya petugas curiga, di dalam dokumen pemberitahuan disebutkan ban yang diimpor baru dan restricted. “Ban itu baru, tapi sekaligus restricted?” ucapnya. Setelah diteliti, Bea dan Cukai membebaskan ban dalam kondisi baru yang masuk impor itu.
Finari menduga importir berniat menghindari perizinan, atau bahkan bea masuk. Meski demikian, tidak ada sanksi ataupun penalti bagi importir. “Sanksi hanya diberikan jika harga barang pada dokumen impor tidak sesuai dengan harga yang sesungguhnya,” ujarnya.
Direktur Operasional Wings Air Redi Irawan menyatakan kurang mengerti dengan temuan Bea dan Cukai. “Saya tahunya ban cukup. Soal itu silakan tanya ke Edward Sirait,” ujarnya. Namun Edward, yang dihubungi hingga kemarin malam, tidak memberi jawaban.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan, menyatakan telah memanggil pihak Lion Air. Menurut dia, masalah stok ban bukan satu-satunya materi yang dibahas. “Ini untuk evaluasi kapasitas yang tersedia dengan jumlah rute yang dilayani,” katanya.