Penyalur kedelai Jalan Ibrahim Adjie, Bandung, Minggu (2/8). Produksi kedelai nasional baru 830 ribu ton/tahun, sementara kebutuhan nasional 2 juta ton/tahun. Menurut Dewan Kedelai Indonesia, kita mengimpor 90% kebutuhan kedelai. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika berpendapat impor adalah satu-satunya solusi jangka pendek yang bisa diambil pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik dan menjaga stabilisasi harga pangan. "Tidak ada cara lain," kata Erani kepada Tempo, Senin, 5 Agustus 2013.
Erani menjelaskan, pemerintah memang perlu memperbaiki kemandirian pangan. Hal ini sangat penting karena Indonesia punya potensi untuk mengembangkan produksi untuk komoditas impor seperti kedelai, jagung, gula, bawang, cabai, hingga daging sapi. "Kita punya potensi," katanya. Indonesia juga punya sumber daya lahan yang cukup untuk mengembangkan aneka komoditas tersebut.
Selama pemerintah belum benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki kemandiriian pangan, Erani memperkirakan impor akan terus-menerus jadi solusi. "Kalau sekarang diperbaiki, baru akan terasa dampaknya tiga tahun mendatang. Kalau tidak sekarang, makin lama lagi menjadi ketergantungan impor," katanya.
Ekonom Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, menambahkan impor pangan tak akan terlalu banyak membebani transaksi berjalan. "Bukan impor bahan pertanian yang besar, 93 persen itu barang modal dan bahan baku," kata Eric. Impor pangan mau tidak mau memang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri sekaligus stabilisasi harga. "Kalau tidak dilakukan nanti malah orang marah," katanya.