Harga Timah Anjlok, 20 Smelter Bangka Kolaps
Senin, 14 Januari 2013 12:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Produksi timah dari Kepulauan Bangka-Belitung diprediksi akan menurun tajam tahun ini. Akibatnya, pengusaha menutup kegiatan produksi di areal tambang dan areal peleburan (smelter) mereka.
"Di Kepulauan Babel, dari 40 smelter yang ada, cuma 20 yang beroperasi. Sisanya kolaps," kata Direktur Utama PT Bangka Belitung Timah Sejahtera, Johan Murod, kepada Tempo, Senin, 14 Januari 2013.
Pembina Asosiasi Tambang Rakyat Daerah Bangka-Belitung ini menjelaskan, 2012 merupakan tahun yang suram bagi industri timah di daerahnya. Dia menjelaskan, harga jual di pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga jual dua tahun sebelumnya.
Harga pada London Metal Exchange (LME) tahun lalu berkisar US$ 17.000/MT hingga US$ 22.000/MT. Padahal, menurut Johan, biaya produksi yang mesti ditanggung para pengusaha semakin tinggi akibat kenaikan harga solar industri dan upah buruh. "Pasar Timah Dunia sangat tidak menguntungkan produsen karena Harga LME variatif sekali," katanya.
Johan mencatat, pada tahun 2011, harga jual timah tertinggi mencapai US$ 33.000/MT. Dia berani memastikan bila harga jual tidak dapat menyentuh angka US$ 25.000/MT, produksi akan turun hingga 70.000 ton. "Sudah pasti akan banyak yang kolaps dan akan menimbulkan pengangguran yang tinggi di Bangka. Harga yang rendah membuat produsen enggan berproduksi," ujarnya.
Pada pertengahan tahun 2000 silam, Bangka-Belitung mampu menghasilkan hingga 120 ribu ton pertahunnya. Angka tersebut terus merosot hingga kisaran 80 ribu tahun lalu.
Penurunan produksi juga dialami oleh PT. Timah Tbk. Perusahaan milik negara ini mengakui bila hasil produksi mereka di Bangka-Belitung selama tahun 2012 mengalami penurunan. "Ada penurunan dibanding tahun 2011, tetapi kami belum bisa sampaikan angkanya," kata Agung Nugroho, Kepala Sekretaris Perusahaan PT Timah, saat ditemui di kantor perwakilannya di Jakarta, Senin, 14 Januari 2013.
Penurunan produksi lebih diakibatkan oleh pengaruh cuaca ekstrem sepanjang tahun lalu. Menurut Agung, pada musim hujan biasa, mitra pertambangan tidak dapat melakukan aktivitas apa pun.
"Biasanya ada banjir di areal tambang sehingga demi keselamatan pekerja, terpaksa aktivitas kami stop sementara." Meskipun ada penurunan produksi, perseroan ini tetap optimistis dapat menghasilkan laba maksimal di tahun ini.
PARLIZA HENDRAWAN