Kredit Macet BPR di Solo Lebihi Batas Maksimum
Kamis, 13 Desember 2012 15:23 WIB
TEMPO.CO, Surakarta - Angka kredit macet atau bermasalah (NPL) dari 88 Bank Perkreditan Rakyat di eks-Karesidenan Surakarta tercatat sebesar 6,95 persen. Padahal, Bank Indonesia mematok batas atas NPL perbankan sebesar 5 persen.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Solo, Suryono, meminta tingginya angka kredit macet BPR di eks-Karesidenan Surakarta itu diwaspadai. “Analis kredit BPR harus berhati-hati dalam menilai apakah calon debitor layak mendapat kucuran kredit atau tidak,” katanya di sela-sela pelatihan analisis kredit BPR di Bank Indonesia Solo, Kamis, 13 Desember 2012.
Dia membandingkan dengan angka kredit macet perbankan secara umum, yang berada di angka 2,77 persen. Sedangkan untuk perbankan syariah--termasuk BPR syariah--hanya 2,8 persen. “Salah satu kuncinya adalah kemampuan analisis kredit dalam menilai kemampuan bayar calon debitor,” kata Suryono.
Suryono mengatakan bahwa saat ini angka kredit macet di BPR sudah mulai menurun. Jika pada Oktober 2011 tercatat 8,14 persen, pada Desember 2011 turun menjadi 7,56 persen. “Dan per Oktober 2012 sudah di angka 6,95 persen,” katanya seraya berharap sesegera mungkin dapat berada di bawah ambang batas 5 persen.
Untuk meningkatkan kehati-hatian BPR, BI mengadakan pembinaan setahun sekali, yang diikuti para pelaksana kredit di lapangan. Mereka dilatih bagaimana menilai calon debitor agar tidak terjadi kredit macet. “Kami mengundang BPR yang angka NPL-nya tinggi,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia Solo, Pangarso Yoga, mengatakan, dalam penyaluran kredit BPR, ada prinsip memberi kemudahan pada calon debitor. “Jadi, misalnya yang bersangkutan meminjam di bank umum dan ditolak, di BPR bisa dikabulkan,” katanya.
Ini karena BPR cenderung menggunakan pendekatan personal ke nasabah. Sayangnya, petugas bagian pencairan kredit kadang kebablasan dalam menyalurkan kredit yang dapat menimbulkan kredit macet.
Menurut Pangarso, kredit macet biasa terjadi karena penerima kredit menggunakan uangnya tidak sesuai rencana semula. Contohnya, yang seharusnya untuk modal usaha, malah dipakai kegiatan konsumsi. “Di sini pentingnya seorang analis kredit untuk terus mengawal nasabahnya agar tidak salah langkah. Jadi tugasnya tidak berhenti saat kredit sudah cair,” ucapnya.
Untuk mencapai NPL di bawah 5 persen, Suryono mengatakan, caranya dengan merestrukturisasi kredit macet, memperbaiki manajemen proses, dan tidak serampangan menyalurkan kredit. “Kalau memang tidak layak, jangan diberi,” dia menegaskan. Hingga Oktober 2012, 88 BPR di Surakarta sudah menyalurkan kredit Rp 2,5 triliun.
UKKY PRIMARTANTYO