Rupiah Melemah, Eksportir Sulit Tentukan Harga Produk
Reporter
Editor
Kamis, 15 September 2011 11:46 WIB
ANTARA/Rosa Panggabean
TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakil Ketua Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri, Natsir Mansyur, mengatakan bahwa dengan anjloknya nilai tukar rupiah yang hampir menyentuh angka Rp 9.000 per dolar AS, hal ini akan menyulitkan dalam menentukan nilai jual produk ekspor. Pasalnya, produk ekspor masih banyak yang berbahan baku impor yang dibeli dengan menggunakan mata uang dolar AS.
“Sementara rupiah anjlok begitu cepat, bagaimana kita menjual barang ke luar negeri?," kata Natsir, Rabu malam, 14 September 2011.
Saat ditanya mengenai angka kerugian yang dialami akibat anjloknya rupiah, dia mengatakan hingga kini belum bisa memperhitungkannya. Sebab, ia masih menunggu laporan dari para pelaku ekspor minimal hingga 5 hari ke depan.
Yang menjadi kekhawatiran Kadin lainnya adalah jika nilai rupiah tidak stabil secara berkelanjutan sehingga mengganggu target ekspor Indonesia yang ditetapkan sebesar US$ 200 juta. "Kita berharap Bank Indonesia akan turun tangan menyelesaikan gejolak ini agar target ekspor dapat tercapai," katanya.
Sebaliknya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto menilai pelemahan nilai rupiah berdampak positif bagi ekspor Indonesia yang bahan bakunya berasal dari dalam negeri. Sebab, bila bahan baku dari dalam negeri dibeli dengan mata uang rupiah kemudian dijual ke luar negeri dengan mata uang dolar, maka eksportir akan mendapatkan keuntungan dari nilai tukar tersebut.
Ke depan, jika mata uang rupiah dapat terkendali dan tidak mengganggu investasi di bursa saham dan sektor dan riil akan menciptakan keadaan pasar yang sangat bagus. Namun, kalau rupiah melemah terlalu cepat, dikhawatirkan bakal berdampak negatif juga ke laju inflasi.
Nilai Ekspor Indonesia 2022 Tumbuh 29,4 Persen, Komoditas Apa yang Berkontribusi?
11 Januari 2023
Nilai Ekspor Indonesia 2022 Tumbuh 29,4 Persen, Komoditas Apa yang Berkontribusi?
Nilai ekspor Indonesia pada 2022 tumbuh 29,4 persen dengan nilai US$ 268 miliar atau sekitar Rp 4.144 triliun. Beberapa komoditas seperti besi baja, bahan bakar fosil, dan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) berkontribusi dalam peningkatan tersebut.