Importir Minta Aturan Ikan Impor Jepang Tak Memberatkan  

Reporter

Editor

Senin, 23 Mei 2011 15:55 WIB

TEMPO/Fahmi Ali
TEMPO Interaktif, Jakarta - Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia mempertanyakan kebijakan sertifikasi kesehatan bagi produk ikan impor. Ketua Umum Asosiasi Pengalengan, Hendri Sutandinata, menyebutkan Jepang bahkan belum menunjuk lembaga yang berkompeten mengeluarkan sertifikat kesehatan produk ikan pasca bocornya pembangkit nuklir.

Artinya, importir lokal yang bakal melakukan uji sampel. Uji ambang batas zat radioaktif dapat dilakukan di laboratorium milik Badan Tenaga Nuklir Nasional di Jakarta. Namun, Hendri meminta proses uji sampel tak memberatkan importir. "Dari segi biaya masih terjangkau. Masalahnya, kalau impor masuk dari kota lain, bagaimana?" ujar Hendri di Jakarta, Senin, 23 Mei 2011.

Pemerintah menepis kegusaran para importir. Menurut Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Victor Nikijuluw, pemerintah menyiapkan laboratorium khusus pengujian zat radioaktif di lima pintu masuk pelabuhan, seperti Medan, Batam, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Laboratorium ini di bawah pengawasan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan.

Pemerintah memperketat aturan impor produk ikan dari Jepang. Aturan ini bertujuan mencegah masuknya ikan yang terkontaminasi zat radioaktif. Meski nilai impornya sedikit, aturan ini ingin menjaga keselamatan konsumen dalam jangka panjang. Sepanjang 2010 nilai impor ikan dari Jepang hanya US$ 17 juta, jauh dibandingkan ekspornya US$ 400 juta.

Aturan pengetatan impor tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hasil Perikanan dan Sarana Produksi Budidaya Ikan dari Negara Jepang. Aturan ini terbit sebagai antisipasi pascaradiasi nuklir Jepang akibat gempa pada Maret lalu.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyebutkan walaupun belum muncul kasus pencemaran ikan impor, pemerintah merasa wajib menerbitkan aturan keselamatan produk impor ikan. Sebab, dampak radiasi pencemaran radioaktif berlangsung lama. “Karena itu kami mewajibkan sertifikasi kesehatan produk dari jepang," ujarnya.

Indonesia banyak mengimpor ikan jenis Hamachi untuk konsumsi hotel atau restoran. Sejak peraturan itu terbit maka tiap produk ikan, termasuk pakan dan benih, dari Jepang harus bersertifikat kesehatan dari otoritas berwenang di sana. Jika masih dicurigai mengandung zat radioaktif di atas ambang batas, pemerintah bakal mengecek ulang produk itu.

Aturan baru ini menyebutkan ikan yang tercemar zat radioaktif tak boleh melebihi ambang batas 70 kilobecquerel per kilogram (kBq/kg) atau 2nCi per gram. Sertifikat kesehatan mesti dikeluarkan pejabat berwenang Jepang yang berlaku untuk seluruh produk perikanan. Sertifikat itu berlaku selama 2-3 tahun, mengingat dampak jangka panjangnya.

ROSALINA

Berita terkait

Trenggono Sebut Perbankan Ogah Danai Sektor Perikanan karena Rugi Terus

4 hari lalu

Trenggono Sebut Perbankan Ogah Danai Sektor Perikanan karena Rugi Terus

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa sektor perikanan kurang mendapat dukungan investasi dari perbankan. Menurut dia, penyebabnya karena perbankan menghindari resiko merugi dari kegiatan investasi di sektor perikanan itu.

Baca Selengkapnya

Menteri KKP Ajak Investor Asing Investasi Perikanan

5 hari lalu

Menteri KKP Ajak Investor Asing Investasi Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP mengajak investor untuk investasi perikanan di Indonesia.

Baca Selengkapnya

KKP Tangkap Kapal Malaysia Pencuri Ikan yang Tercatat sudah Dimusnahkan tapi Masih Beroperasi

8 hari lalu

KKP Tangkap Kapal Malaysia Pencuri Ikan yang Tercatat sudah Dimusnahkan tapi Masih Beroperasi

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap kapal pencuri ikan berbendera Malaysia. Kapal itu tercatat sudah dimusnahkan tapi masih beroperasi

Baca Selengkapnya

DFW Desak Pemerintah Usut Dugaan Kejahatan Perikanan di Laut Arafura

16 hari lalu

DFW Desak Pemerintah Usut Dugaan Kejahatan Perikanan di Laut Arafura

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mendesak pemerintah untuk mengusut dugaan kejahatan perikanan di laut Arafura.

Baca Selengkapnya

Kementerian Kelautan dan Perikanan Buka Pendaftaran Taruna 2024, Simak Jalur dan Syaratnya

26 hari lalu

Kementerian Kelautan dan Perikanan Buka Pendaftaran Taruna 2024, Simak Jalur dan Syaratnya

Kementerian Kelautan dan Perikanan buka pendaftaran peserta didik 2024. Cek di sini caranya.

Baca Selengkapnya

Sejumlah Permasalahan Perikanan Jadi Sorotan dalam Hari Nelayan Nasional

27 hari lalu

Sejumlah Permasalahan Perikanan Jadi Sorotan dalam Hari Nelayan Nasional

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengungkap sejumlah permasalahan nelayan masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Baca Selengkapnya

Terkini Bisnis: Sri Mulyani Masih Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,2 Persen, Bahlil Debat dengan Luhut

46 hari lalu

Terkini Bisnis: Sri Mulyani Masih Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,2 Persen, Bahlil Debat dengan Luhut

Sri Mulyani masih yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa mencapai 5,2 persen pada tahun ini.

Baca Selengkapnya

Inflasi Komoditas Perikanan 2,61 Persen, Ditopang Produksi Melimpah

46 hari lalu

Inflasi Komoditas Perikanan 2,61 Persen, Ditopang Produksi Melimpah

KKP menargetkan inflasi komoditas perikanan tahun 2023 sebesar 3+1 persen.

Baca Selengkapnya

KKP Anggarkan Rp 662 Miliar untuk Kesetaraan Gender, Ada 148 Ribu Perempuan di Sektor Perikanan

46 hari lalu

KKP Anggarkan Rp 662 Miliar untuk Kesetaraan Gender, Ada 148 Ribu Perempuan di Sektor Perikanan

Anggaran untuk mendukung perempuan dan disabilitas yang ada dalam sektor perikanan nasional.

Baca Selengkapnya

Eksploitasi Pekerja Sektor Perikanan Indonesia Masih Tinggi, Subsidi Nelayan Sulit

47 hari lalu

Eksploitasi Pekerja Sektor Perikanan Indonesia Masih Tinggi, Subsidi Nelayan Sulit

Pengusaha yang hanya mengejar keuntungan telah menyebabkan luasnya praktik kerja paksa, perdagangan manusia, dan perbudakan di sektor perikanan.

Baca Selengkapnya