TEMPO Interaktif, Jakarta - Pembatasan truk dan angkutan berat di ruas jalan tol dalam kota telah mengakibatkan penumpukan barang di pelabuhan. Hal ini terjadi di lapangan impor, baik di Jakarta International Container Terminal maupun di Terminal Peti Kemas Koja.
Kepala Humas Pelabuhan Indonesia II Hambar Wiyadi menyatakan angka bongkar-muat normal lahan terpakai seharusnya di bawah 70 yard occupancy ratio (YOR). "Sekarang sudah di atas 80 YOR," kata dia di Jakarta hari ini, Jumat 13 Mei 2011.
Catatan YOR di lapangan impor dua hari lalu menunjukkan angka 88 persen dan di lapangan ekspor 73 persen. Bila dibandingkan dengan YOR bulan lalu, di lapangan impor dan ekspor masing-masing hanya 70 persen dan 50 persen. Meski begitu, penumpukan belum sampai mengakibatkan kapal menunggu untuk bongkar-muat.
Penumpukan ini, kata Hambar, juga sudah mencapai tahap darurat. Sebab, semakin tinggi tingkat YOR, semakin sulit barang keluar dan masuk kapal. Walhasil, truk pun sulit melintas. Ia khawatir, bila penumpukan barang berlanjut, dapat mengancam arus ekspor-impor.
Kepala Unit Angkutan Khusus Pelabuhan Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Gemilang Tarigan, memperkirakan potensi kerugian per hari para anggota organisasi bakal mencapai Rp 3 miliar. Jika pembatasan truk dan angkutan berat di ruas tol dalam kota berlanjut hingga 10 Juni, kerugian diprediksi bisa menggelembung hingga Rp 90 miliar.
Kerugian itu dihitung dari peningkatan biaya langsung Rp 300-400 ribu per trailer per rit akibat penambahan jarak tempuh 30-50 kilometer. Kondisi ini terjadi setelah Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya memperpanjang pemberlakuan pembatasan operasional truk dan angkutan berat di ruas tol dalam kota Jakarta hingga 10 Juni.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya memberlakukan pembatasan hanya pada saat pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-18, yang berlangsung pada 5-9 Mei lalu. Truk besar dilarang melintas jalan tol dalam kota Cawang-Grogol. Itu sebabnya, banyak truk harus melambung melintasi Cawang-Priok atau Grogol-Priok.
Angka kerugian sebetulnya bisa lebih besar karena pembatasan ini tidak hanya menimpa eksportir yang menggunakan jalur laut. Eksportir yang menggunakan jalur udara juga mengeluhkan terhambatnya pengiriman barang. Beberapa eksportir jalur udara sudah mengeluh ketinggalan pesawat karena arus lalu lintas tol menuju bandara ikut macet.
Karena potensi kerugian yang besar itu, Organda hingga kemarin masih mengancam mogok hingga 20 Mei mendatang. Selama ini tiap hari ada 6.000 trailer yang melewati jalan tol tersebut. "Siapa yang mau bayar? Apa pemerintah mau menanggung kerugian itu?" kata Gemilang.
Pelindo juga tetap berharap ada solusi selain Organda membatalkan ancaman berhenti operasi. Sebab, berhentinya operasi Organda hanya akan membuat persoalan arus keluar-masuk pelabuhan makin sulit.
Berbeda dengan Organda dan pengelola pelabuhan, Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Barat Suyoto justru menilai pembatasan truk dan angkutan berat di ruas tol dalam kota telah mengurai simpul kemacetan di ruas jalan Jakarta Barat. "Arus tol kami prediksi bertambah lancar hingga 30 persen," katanya.
Ia menambahkan, gerbang tol Kembangan, jalan layang Grogol, dan tol W1 arah bandara, yang selama ini lalu lintasnya sering macet, kini bisa dilalui dengan lancar. "Pembatasan truk ini sangat berpengaruh meningkatkan kelancaran lalu lintas." l
ARYANI KRISTANTI | ARIE FIRDAUS