Heru mengaku sampai saat ini belum mendapatkan laporan, baik dari pihak Telkom, sebagai operator Flexi; maupun Bakrie Telecom, sebagai pemilik Esia, mengenai rencana merger itu. Jika merger memang dilakukan dan akan berdampak positif maka Badan Regulasi menyambut baik rencana tersebut.
Namun, jika terdapat potensi monopoli yang bisa merugikan konsumen, Badan Regulasi akan mengungkap hal ini. Menurut Heru, pihak Badan Regulasi sudah berdiskusi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Badan Regulasi dan Komisi Pengawas, menurut dia, akan berupaya untuk menghindari terjadinya efek monopoli yang merugikan konsumen. Misalnya, jika monopoli tersebut mengarah pada pengaturan harga. Bila harga ditentukan oleh pelaku monopoli dikuatirkan akan mendistorsi pasar.
Heru menjelaskan baik Telkom maupun Bakrie Telecom memiliki lisensi layanan nirkabel, FTA (free to air), Sambungan Langsung Jarak Jauh dan Sambungan Langsung Internasional serta beberapa izin lain. "Kita kan belum tahu apakah merger itu menyangkut semua lisensi yang dimiliki atau hanya Flexi dan Esia," terangnya.
Jika rencana merger hanya untuk produk Flexi dan Esia, Telkom memang masih menjadi pemain dominan dengan pangsa pasar lebih dari 25 persen. Sementara Esia menduduki posisi pemegang pangsa pasar terbesar kedua setelah Flexi. Andai terjadi konsolidasi antara dua merek, dipastikan struktur pasar akan berubah.
Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar beberapa waktu lalu mengatakan, pihaknya selaku pemegang mayoritas saham sudah merestui rencana Telkom bersinergi dengan Bakrie Telecom. Alasannya, langkah kerjasama tersebut akan menciptakan kekuatan baru di pasar seluler CDMA.
Meski masih remang-remang, namun rencana merger dua operator telepon seluler itu sudah membuat harga saham Bakrie Telecom terus melonjak. Harga saham berkode BTEL ini pada awal Mei lalu masih Rp 139 per lembar. Tapi dalam penutupan perdagangan Selasa (22/6) pekan lalu, harga saham Bakrie Telecom sudah menyentuh Rp 172 per lembar.
KARTIKA CANDRA