Tuntaskan Surat Utang, Pemerintah Emoh Didikte Pasar
Selasa, 17 November 2009 21:03 WIB
Hari ini pemerintah kembali menarik pembiayaan lewat penerbitan tiga seri obligasi senilai total Rp 2,164 triliun, setelah lelang menerima penawaran hingga Rp 2,734 triliun. Seri FR0031 dengan jangka waktu 11 tahun dimenangkan sebesar Rp 1,4 triliun dengan kupon 11 persen. Seri FR0040 dengan jangka waktu 16 tahun dimenangkan Rp 660 miliar dengan kupon 11 persen. Sedangkan seri FR0052 yang akan jatuh tempo 2030 dimenangkan sebesar Rp 104 miliar dengan kupon 10,5 persen.
Dengan tambahan Rp 2,164 triliun, maka total penarikan pembiayaan dari penerbitan surat utang negara dan sukuk (gross) mencapai target Rp 144,549 triliun. Guna menutup kebutuhan pembiayaan anggaran tahun ini, pemerintah juga telah menjual surat utang global sebesar US$ 3 miliar pada Februari. Dua bulan kemudian pemerintah menerbitkan sukuk global US$ 650 juta. Terakhir, pada Agustus 2009, pemerintah menarik dana dari penerbitan surat utang di pasar Jepang (Samurai Bond) sebesar 35 miliar yen.
Disinggung kritik berbagai kalangan yang menilai strategi pemerintah menerbitkan surat berharga negara tak terfokus, Rahmat menanggapi dingin. Dia menegaskan strategi pemerintah menggeber penerbitan surat utang di awal tahun untuk menekan tingkat yield (imbal hasil). Dengan tercukupinya sebagian besar kebutuhan pembiayaan anggaran, maka pemerintah tak lagi dikendalikan oleh pasar dalam penentuan tingkat imbal hasil pada investor. "Ada hasilnya kan? Kami bisa mengendalikan yield. Kami juga tak lagi disudutkan oleh pasar," ucapnya.
Sebelumnya, kritik atas strategi pembiayaan pemerintah dilontarkan ekonom Institute for Development of Economic and Finance, Aviliani. Menurut dia, pemerintah seolah-olah hanya ingin mengejar target pembiayaan dengan menggeber seluruh rencana penerbitan surat utang. Akibatnya, saat ini cenderung terjadi perebutan sumber dana antara perbankan yang sedang menghadapi masalah likuiditas dan pemerintah yang menawarkan yield surat utang cukup tinggi.
Hal senada diungkapkan ekonom Sustainable Development Indonesia, Drajad Hari Wibowo, yang menilai penerbitan surat utang sebesar 100 persen tak sebanding dengan rendahnya realisasi belanja anggaran. "Itu akan membentuk Silpa," kata mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu. Silpa merupakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran.
AGOENG WIJAYA