Lampu Kuning Pengangguran

Reporter

Editor

Jumat, 18 September 2009 10:50 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Sebuah keputusan penting dibuat para menteri keuangan negara G20 di London, 4-5 September lalu: dana stimulus harus terus dikucurkan. Para menteri sebenarnya yakin, krisis sudah sampai pada titik terendah dan mulai berbalik, tapi angka pengangguran yang terus tumbuh membuat mereka khawatir. "Telah terjadi perbaikan pada sistem keuangan, pertumbuhan sedang terjadi,” kata Menteri Keuangan Amerika Serikat Timothy Geithner.

Namun semua itu bukannya tanpa catatan. Menurut Geithner, sejumlah negara maju menghadapi masalah yang sama, yakni angka pengangguran yang begitu tinggi. “Ini di luar dugaan. Syarat untuk sebuah perbaikan yang berkelanjutan belum terpenuhi,” kata Geithner lagi. Perbaikan berkelanjutan memang kata kunci agar dunia bisa melewati krisis ini lebih cepat dan juga punya dampak yang lebih panjang.

Sulitnya angka pengangguran itu dikendalikan, menurut John Hussman, profesor ekonomi dari University of Michigan, merupakan ciri unik krisis kali ini. Dalam setiap resesi, biasanya angka pengangguran berbanding lurus dengan perubahan indikator ekonomi lain. Tapi kali ini beda. Ketika banyak indikator membaik, angka pengangguran malah terus naik. “Utang besar serta rapuhnya ekonomi rumah tangga akibat krisis membuat dinamika perekonomian sulit ditebak,” kata Hussman. Akibatnya, arah perekonomian kini lebih dikendalikan oleh jumlah pengangguran. Selama angka pengangguran terus meningkat, krisis belum berakhir, meski indikator lain membaik.

Hitungan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada akhir tahun ini jumlah penganggur di seluruh dunia akan mencapai 210 juta. Ini 7,1 persen dari angkatan kerja dunia saat ini, naik dari 6 persen tahun lalu. Dan menurut Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn, jumlah ini akan terus bertambah hingga beberapa tahun mendatang. ”Krisis pekerjaan ini hanya akan berakhir kalau sektor swasta kembali bergairah,” katanya.

Masalahnya, menggairahkan sektor swasta dan menurunkan angka pengangguran bukan soal mudah. Di Cina, stimulus US$ 586 miliar atawa sekitar Rp 5.860 triliun yang digulirkan pemerintah berhasil mendorong perekonomian negara itu tumbuh 7,9 persen pada kuartal kedua 2009. Angka pertumbuhan bahkan diperkirakan naik menjadi 10 persen pada awal tahun depan. Toh jumlah pengangguran di negeri itu tetap berkisar di angka 40 juta.

Ini juga terjadi di Amerika, Jerman, Prancis, dan banyak negara lain. Amerika, misalnya, meski perekonomian negara ini boleh dikata sudah mulai membaik--produk domestik bruto kuartal lalu cuma terkontraksi 1 persen--jumlah penganggur sama sekali tidak berkurang. Malah, pada Agustus lalu angka pengangguran AS mencapai titik tertinggi dalam 26 tahun terakhir, 9,7 persen atau sekitar 15 juta.

Maka, sewaktu diwawancarai harian Prancis Challenges, pemenang Nobel Ekonomi 2001 Joseph Stiglitz mengkritik ekonom yang mendefinisikan resesi sebagai gejala pertumbuhan ekonomi negatif dua kuartal berturut-turut, dan bahwa krisis akan berakhir manakala pertumbuhan kembali positif. “Itu keliru,” kata Stiglitz. “Bagi kebanyakan orang, resesi justru baru dimulai saat angka pengangguran naik dan pekerjaan sulit didapat.”

Jika angka pengangguran yang tinggi ini dibiarkan berlangsung lama, kata Stiglitz, situasi bisa jadi akan bertambah buruk. Soalnya, meski kehilangan pekerjaan, banyak keluarga masih harus terus membayar utang. Ini membuat mereka terpaksa menguras simpanan. Kalau sampai simpanan ludes padahal pekerjaan belum didapat, mereka akan berhenti membayar utang. Ini bisa memunculkan krisis baru.

“Yang terburuk memang sudah lewat. Tapi angka pengangguran menunjukkan bahwa krisis belum berlalu dan fundamental ekonomi dunia masih lemah,” kata Stiglitz lagi. Dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran saat ini, dia meramalkan perekonomian dunia baru akan kembali normal empat tahun mendatang.

Philipus Parera (Bloomberg, Canadian Business, Forbes, Business Insider)

Pengangguran di Beberapa Negara


Amerika 15 juta 9,7 persen
Jerman 250 ribu 8,3 persen
Prancis 2,5 juta 9,4 persen
Inggris 2,4 juta 7,8 persen
Cina 40 juta 4,3 persen
Jepang 3,6 juta 5,7 persen
Hong Kong 214 ribu 5,4 persen
Australia 830 ribu 7,4 persen

*)Data akhir semester pertama 2009, kecuali Amerika

Berita terkait

Dampak Perang Gaza, Angka Pengangguran di Palestina di Atas 50 Persen

43 hari lalu

Dampak Perang Gaza, Angka Pengangguran di Palestina di Atas 50 Persen

ILO memperkirakan jika perang Gaza masih berlanjut sampai akhir Maret 2024, maka angka pengangguran bisa tembus 57 persen.

Baca Selengkapnya

2 Ribu Siswa SMA Program Double Track di Jawa Timur Dapat Pelatihan Digital

28 Februari 2024

2 Ribu Siswa SMA Program Double Track di Jawa Timur Dapat Pelatihan Digital

Ribuan peserta itu terdiri dari siswa asal 52 SMAN maupun SMA swasta, serta remaja dari 10 lembaga non formal di Jawa Timur.

Baca Selengkapnya

Rupiah Pekan Ini Berpotensi Menguat, Apa Pemicunya?

26 Februari 2024

Rupiah Pekan Ini Berpotensi Menguat, Apa Pemicunya?

Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra, mengatakan rupiah bisa bergerak ke arah Rp 15.500 per dolar AS pada pekan ini.

Baca Selengkapnya

Philadelphia Jadi Kota 'Zombie', Apa Penyebabnya?

24 Februari 2024

Philadelphia Jadi Kota 'Zombie', Apa Penyebabnya?

Wilayah Philadelphia di Amerika Serikat kini heboh karena disebut Kota 'Zombie', Kenapa?

Baca Selengkapnya

Generasi Muda di Cina Kini Lebih Senang Rebahan, Ogah Kerja Keras

15 Februari 2024

Generasi Muda di Cina Kini Lebih Senang Rebahan, Ogah Kerja Keras

Di tengah melemahnya perekonomian Cina, generasi muda di sana lebih senang rebahan dibandingkan bekerja keras.

Baca Selengkapnya

Pengungsi Ukraina di Jerman Belum Terserap Sektor Tenaga Kerja

7 Februari 2024

Pengungsi Ukraina di Jerman Belum Terserap Sektor Tenaga Kerja

Hanya 25,2 persen pengungsi Ukraina di Jerman yang saat ini berstatus bekerja. Angka itu cukup kecil jika dibanding negara Eropa lainnya.

Baca Selengkapnya

Somalia, Negara Paling Korup di Dunia Versi Transparency International

1 Februari 2024

Somalia, Negara Paling Korup di Dunia Versi Transparency International

Transparency International telah merilis hasil Indeks Persepsi Korupsi. Berikut profil Somalia, negara paling korup di dunia.

Baca Selengkapnya

Anies Janji Evaluasi UU Cipta Kerja, Bandingkan Tingkat Pengangguran Era Jokowi Vs SBY

29 Januari 2024

Anies Janji Evaluasi UU Cipta Kerja, Bandingkan Tingkat Pengangguran Era Jokowi Vs SBY

Calon Presiden nomor urut satu Anies Baswedan berjanji bakal mengkaji ulang UU Ciptaker yang tidak memberikan rasa keadilan untuk pekerja kerah biru.

Baca Selengkapnya

Cak Imin: Kesejahteraan Bukan untuk Segelintir Elite, Bukan untuk yang Ingin Berkuasa Terus-menerus

24 Januari 2024

Cak Imin: Kesejahteraan Bukan untuk Segelintir Elite, Bukan untuk yang Ingin Berkuasa Terus-menerus

Cawapres Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menegaskan pemerataan pembangunan menjadi salah satu prioritas program jika AMIN terpilih pada Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya

Anies Baswedan Sebut Investasi di Batam Padat Modal: Akibatnya Banyak Pengangguran

20 Januari 2024

Anies Baswedan Sebut Investasi di Batam Padat Modal: Akibatnya Banyak Pengangguran

Anies Baswedan menyebut karakter investasi di Batam yang padat modal menyebabkan banyak pengangguran karena tenaga kerja tidak terserap.

Baca Selengkapnya