TEMPO.CO, Jakarta - Salah seorang pengusaha di daerah Tangerang, Hartono, mengaku bisa meraup omzet penjualan sebesar Rp 600 juta per bulan dari memproduksi berbagai macam kerupuk. Beberapa produk unggulannya memakai nama tak lazim seperti Kerupuk Jablay, Kerupuk Ting-ting dan Keripik Singkong Jawara.
Hartono memasang harga jual produk makanan ringannya dari harga Rp 500 dan Rp 10.000 per bungkus dan menyasar masyarakat menengah ke bawah. Menurut dia, pasar menengah kebawah dan bawah jauh lebih konsumtif ketimbang kalangan atas.
Baca: UKM: Bermula dari Klangenan, Martha Sukses Berbisnis Butik
Setelah jatuh bangun di dunia yang digelutinya sejak 2007 itu, pria yang sebelumnya bekerja sebagai kuli bangunan tersebut kini mampu meraup omzet penjualan Rp 600 juta per bulan dan memiliki karyawan sebanyak 108 orang. “Belum pengusaha namanya kalau tidak pernah ditipu. Seringnya sih barangnya dibawa kabur orang. Jadi kita kirim barang tetapi dia tidak bayar,” kata Hartono saat ditemui Tempo di Balai Sarwono, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu 16 September 2017.
Sebelum terjun ke dunia wirausaha, pria berusia 47 tahun tersebut bekerja di salah satu perusahaan konstruksi sebagai pekerja kasar. Ia mengaku sudah menjalani profesi sebagai kuli sejak muda, bahkan ia tidak ingat kapan pertama kali bekerja di perusahaan tersebut.
Pada 1996 Hartono terkena pemutusan hubungan kerja dari perusahaannya. Demi bertahan hidup, ia banting setir menjadi wirausahawan kecil dengan membuka warung bahan - bahan pokok yang menjual beras dan minyak. Ia juga sempat berjualan rokok, namun karena minim pendanaan, usahanya tidak berkembang.
Usaha warung tersebut ia jalani selama sebelas tahun, yakni sejak 1996 hingga 2007. Karena kurang berkembang, pada 2007 ia memutuskan untuk membuka usaha keripik singkong tanpa memiliki dasar ilmu sama sekali di dunia pertanian dan pemasaran. Alasannya memilih keripik singkong sebagai produk usaha sangatlah sederhana, yakni karena cemilan tersebut mudah digemari orang.
Dengan modal tidak lebih dari Rp 5 juta, Hartono nekad membuka usaha keripik singkong dengan nama usaha dagang Dikari. Nama tersebut ia pilih karena menggambarkan kemandirian dan tidak berpangku tangan dengan orang lain.
Pada awalnya usaha keripiknya tersebut dikelola dalam lingkup keluarga dan dibantu oleh 12 anggota keluarganya. Kegiatan usaha dari proses produksi yakni memasak dan pengemasan juga dilakukan di rumahnya di daerah Cirendeu, Tangerang, Banten.
Hingga pada 2009, usaha Hartono kemudian difasilitasi oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM), yaitu perusahaan pelat merah yang memberikan pembiayaan, pendampingan dan jasa manajemen kepada usaha ultra mikro, mikro, kecil dan menengah. Ia mendapatkan pelatihan pengrajin singkong dari mulai produksi, pemilihan bahan, manajemen pemasaran hingga distribusi ke konsumen.
Hartono mengatakan, mereka juga dilatih oleh instansi pendidikan seperti para ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk ilmu pertanian. Sedangkan untuk ilmu manajemen keuangan dan pemasaran, mereka dilatih oleh orang-orang dari Universitas Trisakti.
“Waktu itu kami dilatih dari nol. Dari kami tidak tahu produksi yang bagus seperti apa, bahan apa yang boleh dipakai dan lain sebagainya. PNM mengajak orang-orang yang mengerti di bidangnya untuk memberikan pelatihan,” kata pria asal Subang, Jawa Barat itu.
Dari pelatihan tersebut, akhirnya sejumlah ide usaha muncul. Hartono dan timnya tidak hanya memproduksi keripik singkong saja, tetapi juga basreng, krupuk bakso, kerupuk jablay, dan juga kerupuk ting-ting.
Difasilitasi oleh PNM, Hartono juga sempat melakukan studi banding ke luar jawa seperti Medan dan Pekanbaru. Pada 2015 ia bahkan sempat ke Thailand untuk memperdalam ilmu kewirausahaannya.
Kini produk hasil usahanya tidak hanya didistribusikan di wilayah Tangerang saja, tetapi juga Jakarta, Batam, Makassar dan Bekasi. Produk-produknya bahkan disebut telah menembus pasar retail skala besar seperti pusat perbelanjaan Carrefour, dan Sarinah.
ALFAN HILMI