TEMPO.CO, Jakarta - Dee Lestari mengaku cukup gelisah atas pajak yang memberatkan para penulis, sehingga ia sempat curhat langsung ke Presiden Joko Widodo pada 2015. Isi curhatnya itu jauh dari apa yang dirasakan oleh Tere Liye mengenai pajak 15 persen dari royalti penulis.
Baca juga: Begini Hitung-Hitungan Pajak yang Dikeluhkan Tere Liye
"Saya juga tidak mengenal Tere Liye secara langsung. Tapi, saya bisa pastikan Tere Liye tidak sendiri dalam kegelisahannya. Setiap ada kesempatan berbicara mewakili penulis, soal pajak royalti tidak pernah luput saya ungkap. Termasuk ketika saya punya kesempatan curhat langsung kepada Presiden Jokowi di acara Temu Kreatif BEKRAF di ICE BSD, tahun 2015. Di sana, kembali saya menyuarakan agar pajak royalti penulis diringankan," kata Dee dalam blognya yang bernama deelestari.com, Kamis, 7 September 2017.
Tere Liye memutus kontrak penerbitan bukunya dengan Gramedia Pustaka Utama dan Republika. Penulis buku "Negeri Para Bedebah", "Burlian", "Rindu", dan "Negeri di Ujung Tanduk". Penulis bernama asli Darwis ini keberatan dengan pungutan pajak yang terlalu tinggi.
Menurut penulis Supernova ini, 90 persen dari harga yang dibayarkan pembeli buku adalah untuk aspek fisiknya saja. Sedangkan, sisanya 10 persen baru untuk ide penulisnya. Menurutnya, kebijakan tersebut terasa tidak adil. Apalagi, penulis berhadapan dengan negara yang memotong pajak sampai 15 persen dari yang didapatkan mereka.
"Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90 persen dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10 persen untuk idenya (bisa 12,5-15 persen kalau punya bargaining power ekstra)," tulis Dee.
"Lalu, penulis berhadapan dengan negara. Potongan kue kami yang mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal."
"Kami tidak akan pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan itu bersifat langsung. Lalu, sisanya kami masukkan ke dalam pendapatan tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang."
Untuk mengatasi masalah ini, Dee mempunyai masukan yang bisa dijadikan wacana keringanan pajak royalti penulis agar tepat sasaran. Pertama, kata Dee, jika royalti tetap dianggap penghasilan pasif, maka perlakukanlah pajaknya seperti pemasukan pasif. "(Artinya) final. Setelah penerbit memotong pajak kami, maka selesai urusan," ujarnya.
Kedua, jika royalti bisa dipertimbangkan sebagai penghasilan aktif, maka beri pilihan penggunaan norma pada seluruh pendapatan kami tanpa kecuali. "Jujur, pilihan pertama lebih menggairahkan bagi saya. Bayangkan, jika para kreator diberi keleluasaan seperti itu, negara dapat benar-benar menghadirkan atmosfer kondusif bagi para penemu dan insan kreatif yang pekerjaannya mencipta, termasuk penulis."
Menurut Dee, pemerintah seharusnya mulai berpikir tentang investasi kreativitas dan intelektualitas profesi penulis. Ketika profesi penulis bisa menjadi salah satu profesi yang menguntungkan secara ekonomi, Dee yakin akan lebih banyak orang yang berani berdedikasi pada kepenulisannya.
Ke depan, kata dia, penulis dapat fokus berkarya sebaik mungkin tanpa harus dipusingkan menyambi kiri-kanan demi menyambung hidup. Penulis dapat sepenuhnya bersandar pada buku yang ditulisnya tanpa harus memutar otak mengkapitalisasi dirinya demi memperbanyak pendapatan non-royalti. "Tidakkah kesejahteraan penulis adalah bagian dari mimpi besar memperbaiki kondisi literasi bangsa ini?" Baca kasus Tere Liye di sini.
IMAM HAMDI