TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar mata uang virtual Bitcoin turun tajam setelah pemerintah Cina melarang skema pendanaan Initial Coin Offering (ICO). Kepala Eksekutif Brave New Coin, Fran Stajnar, mengatakan isu tersebut menjadi sentimen negatif di bursa Bitcoin dan mata uang crypto currency secara global,. "Kami tidak terkejut melihat penurunan nilai aset saat ini," kata Strajnar kepada CNBC, Selasa 5 September 2017.
Berdasarkan data bursa Coindesk, Selasa, 5 September 2017, nilai tukar Bitcoin turun dari US$ 4.584 menjadi US$ 4.350. Di London, mata uang tersebut diperdagangkan di kisaran US$ 4.429 per keping. Menurut Strajnar, harga Bitcoin belum melampaui titik tertinggi, US$ 5.000 per keping, yang terjadi pada pekan lalu.
Selain dampak negatif regulasi pemerintah Cina, dia menduga kondisi ini disebabkan aksi ambil untung dari para pemegang Bitcoin. "Kami tidak melihat ini sebagai masalah yang permanen," ujarnya.
Senin 4 September 2017, Bank Sentral Cina (PBOC) melarang skema pendanaan untuk mata uang virtual, yang dikenal dengan nama Initial Coin Offering (ICO). Kabar yang dilansir Straits Times menyebut otoritas moneter itu memerintahkan semua lembaga keuangan dan investor untuk tidak terlibat dalam skema ICO. PBOC mengklaim telah menyelidiki semua institusi dan individu yang menginisiasi skema ICO. Semua lembaga yang terlibat dalam ICO juga akan terkena sanksi berupa larangan beroperasi.
Skema ICO, yang telah meraup dana US$ 1,6 miliar (Rp 21,3 triliun), disebut-sebut menjadi ancaman bagi industri finansial Cina. Sebab, banyak lembaga keuangan dan investor yang diam-diam mengalirkan dananya secara ilegal ke mata uang virtual tersebut. Laporan yang dirilis Xinhua menyebut perusahaan mata uang virtual asal Cina berhasil mengumpulkan dana US$ 383 juta dari 105 ribu investor sepanjang semester pertama tahun ini. Pemerintah Cina pun resah, lantaran khawatir dana itu disalurkan pada kegiatan ilegal seperti narkotika dan terorisme.
ICO merupakan skema untuk menggalang dana melalui bursa mata uang virtual, mirip penawaran saham perdana (IPO) di bursa efek. Namun dalam ICO, perusahaan yang menggalang dana tidak menawarkan saham, melainkan menjual mata uang virtual (coin atau token) ke para investornya. Token atau coin rilisan baru itu dibeli dengan mata uang virtual yang sudah lama eksis seperti Bitcoin, dengan harga tertentu. Investor dan perusahaan "emiten" akan meraih keuntungan jika nilai atau harga token hasil ICO itu naik di bursa mata uang virtual.
FERY F