TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan utang yang dikelola dengan baik akan menjadi solusi untuk beberapa permasalahan di Indonesia.
“Jadi, harusnya kita tidak perlu takut berutang, selama yakin bisa mengelolanya,” ujar dia, Minggu, 27 Agustus 2017.
Sri Mulyani mencontohkan sistem kelola utang yang baik pernah terjadi di keluarganya. “Saya ini anak ketujuh dari 10 bersaudara. Pendapatan ayah dan ibu saya tidak akan cukup menyekolahkan kami hingga ke universitas,” kata Sri Mulyani. “Tapi semua anak-anaknya bisa kuliah? Biaya dari mana kalau bukan dari beasiswa dan berhutang?”
Meskipun utang merupakan instrumen yang tidak bisa terpisahkan dari suatu negara, Sri Mulyani menekankan utang harus dikelola dengan hati-hati. “Kalau utang digunakan dengan tujuan dan diawasi dengan hati-hati, dia (utang) bisa menjadi solusi. Tapi tidak berarti harus kecanduan utang,” ujar dia.
Sri Mulyani menjelaskan kondisi keuangan negara saat ini bisa dikatakan sehat dan memungkinkan untuk berutang. “Berapa pun utang yang akan ditanggung negara, itu akan selalu dibandingkan dengan kondisi Anggaran Pendapatan dan Perbelanjaan Negara.”
Simak Pula: INDEF: 39 Persen Utang Indonesia Dikuasai Asing
Selama menjadi Menteri Keuangan, Sri Mulyani memastikan utang yang ditanggung negara akan dipakai secara produktif dan diawasi dengan berbagai macam pertimbangan. “Di seluruh dunia, 192 negara, kecuali dua negara kecil, yakni dengan julukan tax heaven atau sebagai pusat perjudian. Semua (negara) punya utang,” ujar dia.
Pengajar ekonomi Universitas Pertamina, Eka Puspitawati, mengatakan perekonomian Indonesia masih dibebani utang masa lalu. Dengan demikian, utang yang dimiliki pemerintah saat ini lebih banyak digunakan untuk membayar bunga utang masa lalu. “Indonesia masih bergelut dengan utang warisan masa lalu,” kata dia.
Menurut Eka, struktur utang luar negeri Indonesia sebesar 69–70 persen masih digunakan untuk membayar utang masa lalu. Hanya sekitar 30–31 persen digunakan untuk utang ke depan.
Eka mengatakan saat ini rasio utang terhadap PDB memang lebih rendah dibanding sebelumnya, yakni sekitar 27 persen. Pada 2006, rasio utang terhadap PDB adalah 46 persen. Bahkan, pada 1998, saat Soeharto lengser rasio utang terhadap PDB adalah 57 persen. Ini terjadi karena saat itu terjadi pembengkakan utang akibat kurs dolar yang melonjak.
Dibanding negara lain, sebenarnya rasio utang Indonesia terhadap PDB relatif kecil. Jepang, misalnya, rasio utang terhadap PDB adalah 250 persen. Sementara itu, Prancis dan Inggris lebih dari 89 persen.
Meski rasio utang Indonesia relatif kecil, Indonesia termasuk rentan, terutama di sektor finansial, dibanding negara-negara maju. Eka mencontohkan, berdasarkan pengalaman krisis ekonomi di masa lalu, Indonesia sangat mudah digoncang oleh seorang spekulan bernama George Soros. “Mata uang langsung anjlok, sehingga utang Indonesia semakin tinggi dan menyebabkan defisit luar biasa.”
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Arif Budimanta, mengatakan fokus perencanaan fiskal untuk 2018 adalah agar APBN makin sehat dan ekonomi makin kuat. “Defisit dijaga dan tambahan utang digunakan untuk hal-hal yang produktif,” kata dia.
M. JULNIS FIRMANSYAH | AMIRULLAH SUHADA