TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja Hery Sudarmanto mengatakan masalah tenaga kerja perusahaan jamu Nyonya Meneer saat ini ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Tengah. Ia mengakui sebelumnya ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Semarang.
"Semula memang ditangani Dinas Kota, namun sekarang ditangani oleh Dinas Provinsi Jateng," kata Hery kepada Tempo saat dihubungi pada Senin, 7 Agustus 2017.
Hery kemudian enggan menjelaskan lebih jauh mengenai masalah ini. Ia menyatakan masalah ini sebaiknya ditanyakan kepada pihak Disnaker Jawa Tengah saja. "Anda bisa menghubungi Kepala Disnaker Provinsi Jawa Tengah."
Baca: Nyonya Meneer Bangkrut, Ini Penyebabnya Selain Gagal Bayar Utang
Gugatan pailit terhadap Nyonya Meneer diajukan oleh kreditor Hendrianto Bambang Santoso, asal Kabupaten Sukoharjo. Pemohon menyatakan PT Nyonya Meneer tidak memenuhi kewajiban membayar utang. Atas putusan itu, kurator telah ditunjuk untuk menyelesaikan kewajiban Nyonya Meneer kepada para kreditor.
Kepala bidang Pengawasan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Tengah, Budi Praba, mengatakan pihaknya tidak akan masuk ke dalam ranah pengadilan. Ia menyatakan pihaknya hanya masuk ke ranah di mana terdapat aduan dari pekerja Nyonya Meneer, dan akan mencoba menyelesaikannya.
Simak: Nyonya Meneer Masih Utang Rp 10 Miliar ke Pekerja
Budi menceritakan pihaknya mulai menangani masalah ini pada 2016, dan sudah mempertemukan antara pihak pekerja dan manajemen Nyonya Meneer. Keluhannya waktu itu adalah gaji dan juga tunjangan hari raya yang belum dibayarkan perusahaan.
Ketika ditanyakan berapa jumlah gaji yang belum dibayarkan, Budi mengaku tak mengetahui angka persisnya karena pihaknya hanya mempertemukan kedua belah pihak. Namun ia menjelaskan jumlahnya cukup variatif. "Ada yang belum dibayarkan tiga bulan, dan ada juga enam bulan," tuturnya kepada Tempo saat dihubungi.
Di dalam mediasi itu, pihak manajemen sempat menjanjikan akan membayarkan hak-hak para pekerja yang menurut Budi, mayoritas merupakan perempuan berusia di atas 50 tahun. Terlebih karena pekerja di sana sudah bekerja sejak usia 17-18 tahun dan tidak memiliki kemampuan baca tulis. "Dulu kan belum ada aturan pekerja anak," ujar Budi.
Setelah pengadilan negeri menyatakan Nyonya Meneer pailit, Budi berharap setelah ini hak-hak para pekerja bisa terlebih dahulu diberikan melalui aset-aset yang dimiliki perusahaan tersebut. "Mereka sulit bekerja di tempat lain, hanya memohon menerima pesangon," ucapnya.
DIKO OKTARA