TEMPO.CO, Tulungagung - Kelangkaan garam yang terjadi sejak satu bulan terakhir memukul industri es puter di Tulungagung, Jawa Timur. Industri rakyat ini sangat bergantung kepada garam sebagai salah satu bahan pokok utama. Sejumlah pemilik usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Kabupaten Tulungagung yang memproduksi es puter mengeluhkan kelangkaan garam dapur ini.
Kalaupun ada, harganya juga melonjak dua kali lipat di tingkat pedagang keliling. “Padahal garam menjadi bahan utama pembuatan es puter,” kata Suprihatin, salah satu pedagang es puter di Desa Plandaan, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Selasa, 1 Agustus 2017.
Perempuan yang telah menekuni pembuatan es puter selama 20 tahun ini mengatakan garam Kristal atau yang biasa disebut sebagai garam grasak menjadi bahan utama pembuatan es puter. Garam ini berfungsi menurunkan temperatur hingga mengubah cairan bahan es menjadi beku. Tanpa bantuan garam, balok-balok es yang dipergunakan tidak akan mampu membekukan bahan cair.
Baca: Harga Garam Melonjak, Perajin Ikan Asin di Tegal Tutup Sementara
Pembuatan es puter ini cukup mudah. Suprihatin terlebih dulu menyiapkan bahan-bahan dasar berupa susu, santan, dan beberapa bahan lain ke dalam tabung. Tabung itu selanjutnya diletakkan di antara balok es yang telah dicampur garam untuk kemudian diputar. Proses pemutaran ini bisa berlangsung hingga tiga jam tanpa berhenti sama sekali hingga berubah menjadi es padat atau cream.
Untuk memproduksi satu tabung es puter, dibutuhkan sedikitnya 10 kilogram garam grasak. Banyaknya kebutuhan garam inilah yang membuat Suprihatin dan beberapa warga yang berprofesi membuat es puter di Tulungagung kebingungan. Harga garam yang tersedia saat ini sudah mencapai Rp 6.000 per kilogram dari semula Rp 3.000. Padahal setiap hari Suprihatin bisa membuat tiga tong es puter dengan kebutuhan 30 kilogram garam.
Kelangkaan diikuti kenaikan harga garam ini memaksa Suprihatin menaikkan harga jual esnya. Jika sebelumnya satu tong es puter dengan kapasitas 125 gelas (cup) dibanderol Rp 350 ribu kini naik menjadi Rp 400 ribu. “Itupun sudah mengurangi laba,” katanya.
Baca: Nelayan Lamongan Tolak Impor Garam
Kondisi serupa dialami warga di Kota Kediri. Sejumlah pedagang di Pasar Wilis yang menyediakan garam mengaku menaikkan harga hingga empat kali lipat. Jika sebelumnya harga garam beryodium kemasan 250 gram seharga Rp 1.000, sejak dua minggu lalu naik menjadi Rp 4.000 per bungkus. “Saya harus pesan garam ini dari Surabaya, di sini tidak ada lagi,” kata Lilik, pedagang sembako di Pasar Wilis.
Beberapa ibu rumah tangga pun mengaku harus memesan garam kepada saudaranya yang tinggal di pedesaan. Menurut mereka garam di desa masih cukup ada meski tak berbentuk butiran kristal. Garam-garam itu berupa balok yang harus dihancurkan terlebih dulu sebelum dimasak.
HARI TRI WASONO