TEMPO.CO, Lamongan - Nelayan dan perajin garam di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur menolak impor garam yang dilakukan pemerintah. Alasannya, impor garam akan mematikan perajin garam yang telah bertahun-tahun menggeluti profesi ini.”Kita tegas menolak impor garam,” ujar Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Lamongan, Agus Mulyono pada Tempo, Selasa 1 Agustus 2017.
Agus Mulyono menyebut, di Lamongan, ada sekitar 700 petani garam yang telah bertahun-tahun jadi pekerjaan tetap, terutama saat musim kemarau. Perajin garam di beberapa desa daerah pantai utara Lamongan, seperti Desa Weru Komplek, Weru Lor, Weru, Paloh, Sadang, Tunggul dan Sidokumpul Kecamatan Paciran termasuk yang tegas menolak kebijakan impor garam.
Selain itu petani garam lainnya juga banyak berada di Desa Loh Gung, Labuan, Sedayu Lawas Kecamatan Brondong. “Saya berharap Pemerintah membatalkan impor garam,” kata pria yang menjabat Kepala Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Lamongan.
Data di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lamongan menyebutkan, hingga akhir September 2016 realisasi produksi garam berada di kisaran 1.000 ton. Jumlah itu jauh menurun dibanding realisasi September 2015 silam dengan produksi 30.000 ton dan pada Desember tahun sama 38.804 ton. Sedangkan luas lahan garam di Lamongan pada 2015 mencapai 213 hektare, sementara tahun 2016 tinggal 200 hektare.
Juru Bicara Pemerintah Daerah Lamongan, Agus Hendrawan, mengatakan, pihaknya hingga kini belum mengkaji soal rencana Pemerintah Pusat impor garam. Alasannya, hingga saat ini kondisi garam di Lamongan masih normal. “Tidak langka, tetapi juga tidak banyak,” ujarnya.
Agus menyatakan lokasi Lamongan dekat dengan Gresik, yang punya banyak terdapat produksi garam. Dia menyontohkan, jalur pantai utara di Lamongan hingga Gresik, sebagian untuk perajin garam yang produksinya dikirim ke sejumlah kota di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. “Pemerintah Lamongan tetap mendata kebutuhan riil garam, sebelum bersikap,” tuturnya.
SUJATMIKO