TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan mengeluhkan masih longgarnya penegakan aturan untuk taksi online. Seperti diketahui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2017 yang di dalamnya memuat ketentuan tarif batas atas dan bawah, kuota, dan STNK telah berlaku sepenuhnya sejak 1 Juli 2017.
Di satu sisi, Organda mengapresiasi langkah pemerintah yang sudah bergerak mengatur tanpa membeda-bedakan jenis moda transportasi. “Sudah ada upaya untuk kesetaraan, hanya yang masih menjadi pertanyaan pemerintah dalam aturan ini kadang-kadang beri kelonggaran yang luar biasa,” ujarnya, saat dihubungi Tempo, Senin, 24 Juli 2017.
Simak: Mekanisme Pajak Taksi Online Masih Diformulasikan
Shafruhan mencontohkan kelonggaran dalam implementasi aturan itu dapat dilihat dari diberikannya sejumlah dispensasi waktu atau ditunjukkan dengan belum adanya tindakan tegas yang dikenakan bagi yang belum memenuhi. Dia mengatakan hal yang mendasari peraturan tersebut adalah kesetaraan dalam melakukan kegiatan usaha di bidang transportasi.
“Semuanya dalam kehidupan berusaha di Indonesia ada aturan, bahwa seluruh pengusaha angkutan umum apapun jenis moda angkutan tarifnya diatur sesuai keputusan pemerintah di levelnya,” katanya. Hal itu dibutuhkan untuk menghindarkan pengenaan tarif yang semena-mena kepada masyarakat.
Simak: Cetak Programmer Kelas Dunia, GO-JEK Tawarkan Beasiswa
“Jadi misalnya ada perusahaan yang arogan punya kemampuan finansial dan image kuat kemudian dihajar saja yang di bawahnya dengan harga murah, jadi berkibar sendirian, itu nggak boleh,” ucapnya. Seluruh tata cara dan mekanisme angkutan transportasi umum selayaknya mengikuti apa yang telah diatur pemerintah. Menurut Shafruhan jika tidak mengambil sikap tegas, maka akan mengganggu kewibawaan pemerintah. “Kalau pemerintah biarkan terus akan terlihat nyata pemerintah dihancurkan oleh satu perusahaan.”
Shafruhan pun menyayangkan pihak pengelola taksi online yang masih belum mau transparan dalam laporan kuota armada atau mitra yang dimiliki. “Banyak perorangan yang ambil kredit ke leasing lalu masuk ke dalam perusahaan aplikasi, mereka bergerak liar karena ilegal,” ujarnya. Hal ini berbeda dengan moda transportasi publik yang sudah ada, di mana pemantauan kuota rutin dilakukan. “Ini untuk saling menjaga, jadi pemerintah harus kontrol, tidak boleh berlebihan.”
GHOIDA RAHMAH