TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengusulkan perubahan besaran denda bagi pelaku kartel hingga maksimal 30 persen dari total penjualan produk yang diperkarakan. Usulan ini muncul karena denda yang berlaku saat ini dinilai terlalu rendah.
"Denda yang sekarang berlaku sangat sedikit sehingga tidak memberikan efek jera," kata Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf kepada Tempo, Rabu, 19 Juli 2017.
Menurut Syarkawi, denda maksimal 30 persen sudah banyak diterapkan di berbagai negara dan terbukti ampuh. Beberapa negara di Eropa serta Jepang dan Korea sudah membuktikannya.
Dia mengatakan denda akan dihitung dari total penjualan produk yang diperkarakan. Penjualan yang dihitung hanya pada periode perkara. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan melakukan praktik kartel gula pasir selama setahun, denda akan dihitung dari total penjualan gula pasir selama periode satu tahun tersebut.
Beberapa negara justru menghitung denda dari besarnya keuntungan perusahaan. Dia mengatakan metode tersebut sulit diterapkan di Indonesia karena keterbatasan periode audit. "Proses audit hanya semesteran atau tahunan," kata Syarkawi.
Selain itu, menurut Syarkawi, perusahaan bisa saja merekayasa laporan keuangan. Jika laporan keuangan menyatakan perusahaan merugi, meski dia terbukti bersalah, denda akan sulit ditetapkan. "Bagaimana mau denda kalau dia rugi," ucapnya.
Usul KPPU menuai kritik. Anggota Komisi Perdagangan dan Perindustrian Dewan Perwakilan Rakyat, Darmadi Durianto, menyatakan sejumlah asosiasi mengusulkan jumlah denda yang lebih rendah dari 30 persen.
Dia menerangkan, usul yang masuk tentang besaran denda dari KPPU sangat beragam. Ada yang meminta 5-30 persen atau 5-20 persen. Ada pula yang meminta denda tak dihitung dengan persentase, tapi berdasarkan kerugian selama kartel terjadi.
VINDRY FLORENTIN | GHOIDA RAHMAH