TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena masyarakat miskin yang diukur dari ketimpangan pengeluaran penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta terus membesar selama setahun terakhir. Riset Badan Pusat Statistik menunjukkan angka ketimpangan di Yogyakarta berada di peringkat tertinggi sejak September 2016 di antara 93 provinsi lainnya.
Deputi Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik, Sairi Hasbullah, mengatakan penduduk provinsi yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono X itu memiliki pola konsumsi yang unik. Penduduk miskin atau kelas bawah terbiasa dengan budaya hemat. Sedangkan pengeluaran pendatang dan kelas menengah-atas di Yogyakarta hampir setara dengan di provinsi lainnya.
"Ada pola kultural yang masih dianut. Kalau rumah tangga miskin, sangat hemat,” kata Sairi, kutip Koran Tempo edisi Rabu 19 Juli 2017. “Sedangkan masyarakat atasnya, konsumsi mengikuti kami-kami. Jadi, gap-nya memang tinggi.”
Ketimpangan pengeluaran penduduk terlihat dari tingkat rasio Gini yang berkisar di angka 0-1. Semakin tinggi rasio Gini, semakin tinggi pula ketimpangan. Rasio Gini nasional selama dua tahun terakhir mengalami penurunan yang ditandai dengan adanya perbaikan pemerataan pengeluaran. Rasio Gini turun menjadi 0,393 persen dibanding pada September 2016 yang sebesar 0,394. Di perkotaan, rasio Gini mencapai 0,407. Sedangkan rasio Gini di pedesaan naik menjadi 0,32 dari sebelumnya 0,316.
Dibanding rasio Gini nasional, Yogyakarta memiliki angka rasio Gini total pedesaan dan perkotaan tertinggi, yaitu 0,432 pada Maret 2017. Pada September 2016 rasio Gini Yogyakarta sebesar 0,402, sedangkan pada Maret 2016 sebesar 0,420. Nilai rasio Gini tertinggi berikutnya adalah di Gorontalo, Papua, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Selain itu, ketimpangan penduduk di kota-kota Yogyakarta terlihat lebih besar dibanding di pedesaan, yaitu perkotaan sebesar 0,418 dan pedesaan 0,326. Fenomena ini berkebalikan dengan ketimpangan pedesaan nasional yang lebih tinggi dibanding di perkotaan. "Tapi, kalau diukur tingkat kebahagiaan, Yogyakarta tetap paling tinggi," kata Sairi.
Menurut Sairi, BPS hanya menghitung jumlah pengeluaran konsumsi masyarakat untuk mengukur rasio Gini. Pendapatan, tingkat inflasi, dan faktor pertumbuhan ekonomi hanya menjadi faktor pendukung yang mempengaruhi jumlah pengeluaran masyarakat.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, keparahan ketimpangan di Yogyakarta disebabkan adanya serbuan investor atau pendatang baru. Pembangunan pusat belanja dan hotel yang semakin masif mengakibatkan spekulan tanah meningkat. "Ketimpangan di perkotaan meledak. Harga properti yang mahal menjadi sulit dijangkau warga asli Yogyakarta, terutama dari kelompok miskin," kata dia.
Untuk menurunkan ketimpangan, pemerintah perlu mengendalikan harga tanah dengan memberikan denda tinggi kepada pemilik lahan sawah yang dikonversi langsung menjadi bangunan. "Aturannya, tidak boleh sawah dijadikan properti, apalagi mal dan hotel," kata dia mengomentari fenomena masyarakat miskin.
PUTRI ADITYOWATI