TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan dua Badan Usaha Milik Negara atau BUMN mendapat Penyertaan Modal Negara (PMN) pada RAPBN-P 2017. Kedua perusahaan pelat merah itu adalah PT Kereta Api Indonesia (KAI) Persero sebesar Rp 2 triliun dan kepada PT Djakarta Lloyd (Persero) sebesar Rp 379,3 miliar.
"Usulan alokasi PMN untuk KAI dalam bentuk tunai, sedangkan untuk Djakarta Lloyd dalam bentuk non-tunai," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR-RI, di Gedung MPR/DPR-RI, Jakarta, Kamis.
Dalam rapat dengar pendapat yang dimpimpin Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno itu, Sri Mulyani mewakili Menteri BUMN Rini Soemarno yang hingga kini masih mendapat penolakan untuk rapat dengan Komisi VI DPR.
Menurut Sri Mulyani, usulan alokasi PMN untuk KAI dan Djakarta Lloyd terkait dengan pembahasan asumsi dasar APBN 2017 pada 12 Juli 2017. Ia menjelaskan, PMN tunai kepada KAI akan digunakan untuk menunjang kemampuan dalam melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana LRT Jabodebek.
"Ini sudah dibahas dengan Menko Maritim Luhut Panjaitan yang menargetkan kereta LRT Jabodebek selesai tahun 2018," kata Sri.
Namun karena keterbatasan belanja negara maka dilakukan kombinasi antara PMN KAI dengan belanja Kementerian Lembaga dalam pelaksanaan penyelesaian LRT. Sedangkan PMN nontunai sebesar Rp379,3 miliar untuk Djakarta Lloyd diupayakan dari konversi utang (subloan agreement/SLA) menjadi ekuitas perusahaan.
Meski demikian usulan PMN yang disampaikan Sri Mulyani tersebut, mendapat berbagai tanggapan dari sejumlah anggota fraksi Komisi VI. Ada yang menolak, ada juga memberikan catatan bahwa PMN yang diusulkan tersebu dapat dibahas kembali dalam kesempatan rapat berikutnya.
Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto mengatakan, Pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memberikan setiap PMN kepada BUMN. "Belajar dari PMN yang diberikan kepada sejumlah BUMN pada tahun-tahun sebelumnya, banyak yang meleset dari target-target yang ditetapkan. Alokasi penggunaan dana PMN juga tidak sesuai dengan rencana bisnis," ujarnya.
ANTARA