TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, terdapat 4,7 persen perusahaan importir yang dikategorikan bandel alias berisiko tinggi atau 1.300-1.500 dari total jumlah importir yang tercatat di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Sri Mulyani menjelaskan, importir berisiko tinggi adalah para importir yang memiliki reputasi kurang baik. "Entah dalam bentuk penyelundupan sebagian, barangnya masuk secara formal tapi isinya bisa bermacam-macam, atau mereka menyogok aparat kita," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta, Rabu, 12 Juli 2017. "Yang sudah kami tertibkan karena mereka tidak memiliki NPWP ada 679 importir. Kalau dari sisi nilai, kami tidak tahu berapa yang dia selundupkan."
Baca Juga:
Jenis barang yang diimpor, menurut Sri Mulyani, bermacam-macam. Tapi biasanya, barang tersebut berupa produk tekstil, alat elektronik, dan minuman keras atau berbagai barang dalam satu kontainer. Nah, importir bermasalah tidak transparan dalam melaporkan barang yang ada dalam kontainer karena takut diperiksa. Itu sebabnya, pemerintah kesulitan mengurangi waktu tunggu bongkar muat barang (dwelling time) di pelabuhan.
Sri Mulyani pun menerangkan, dengan penertiban yang akan dilakukan bersama para stakeholder diaingin importir yang ilegal berubah menjadi legal. Pemerintah tidak akan mematikan kegiatan ekonomi melainkan ingin kegiatan ekonomi tercatat dan dapat menciptakan persaingan yang adil.
ANGELINA ANJAR SAWITRI