TEMPO.CO, Sleman - Hampir seratus petani salak pondoh yang bergabung dalam Paguyuban Salak Wonokerto Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta mendatangi Kantor Bupati Sleman, Selasa, 11 Juli 2017.
Mereka mengeluhkan harga produksi salak mereka yang menurun drastis, terutama menjelang Lebaran 2017 lalu hingga saat ini. “Kami minta pemerintah mengatur harga terendah salak di pasaran,” kata Ketua Paguyuban Petani Salak Wonokerto yang juga Kepala Desa Wonokerto Tomon Haryo Wirosobo dalam orasinya di hadapan sejumlah pejabat Pemerintahan Sleman dan petani salak di Pendapa Kantor Bupati Sleman, Selasa, 11 Juli 2017.
SIMAK: Dampak Larangan Cantrang Menurut Menteri Luhut
Dia memaparkan, Lebaran lalu, harga salak dari petani anjlok hingga Rp 1.500 per kilogram dari harga yang diharapkan mencapai Rp 2.500 – Rp 3.500 per kilogram. Bahkan harga salak per 11 Juli 2017 hanya berkisar Rp 1.700 – Rp 2.000 per kilogram dari petani. Sedangkan harga jual dari pengepul atau pedagang kepada konsumen mencapai Rp 7.000 – Rp 12.000 per kilogram.
Padahal petani salak yang berada di lereng Gunung Merapi sisi barat itu tengah panen raya. Luas lahan kebun salak di sana mencapai 634,5 hektare dengan jumlah petani 3.141 orang yang merupakan warga Wonokerto yang mayoritas menggantungkan hidup dari kebun salak.
“Itu hanya cukup untuk mengganti ongkos produksi. Petani salak belum bisa menikmati hasil yang mewah dari panennya,” kata Tomon.
Selain ada aturan harga terendah salak, petani juga meminta agar pemerintah memberikan fasilitas dan pendampingan petani salak dengan berbagai produk olahan, serta pemasaran salak dan produk-produk olahannya.
Mengingat Kepala Bidang Hortikultura dan Perkebunan Dinas Pertaniaan, Pangan, dan Perikanan Sleman Edi Sri Harmanto saat menemui para petani meminta petani salak pondoh lebih kreatif dengan tidak hanya menjual salak saja, melainkan membuat dan menjual produk olahan, seperti keripik salak, sirup salak, ataupun manisan salak.
“Kami tak masalah dengan olahan salak. Tapi kami kesulitan mengurus legalisir PIRT (Produksi Pangan Industri Rumah Tangga). Jadi harus difasilitasi,” kata salah satu petani salak Sunarjo.
Edi juga meminta hasil panen salak petani lebih ditingkatkan kualitasnya menjadi berkualitas minimal B. Lantaran kualitas tersebut banyak dicari suplier pasar-pasar modern. "Saat panen dalam kondisi 85 persen masak, biar awet,” kata Edi.
Namun Sunarjo membantah. Dia menyatakan hasil panen salak petani Wonokerto bagus dengan capaian tingkatan A dan B. “Kami menduga ada permainan harga di tingkat pedagang,” kata Sunarjo.
SIMAK: Muliaman Hadad Beri 'Salam Perpisahan' ke Jokowi
Menurut Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Sleman Tri Endah Yitnani, harga salak pondoh dari petani yang anjlok itu karena truk-truk pengangkut barang dilarang beroperasi sejak H-7 hingga H+7 Lebaran. Padahal selain dipasarkan di wilayah DIY, salak-salak pondoh tersebut juga dipasarkan hingga ke Jakarta dan Medan.
Tak hanya Wonokerto, salak-salak pondoh di wilayah Sleman lainnya juga diekspor ke Kamboja sebanyak 5,5 ton dua kali dalam sepekan dan 1,5 ton ke Cina sekali dalam sepekan.
Dia pun membenarkan hingga saat ini pemerintah Sleman belum mempunyai aturan penetapan harga terendah salak pondoh sebagaimana diterapkan pada penjualan elpiji. “Jadi perlu ada pembicaraan dengan pengepul dan pedagang dulu,” kata Tri.
Dalam kesempatan itu, Sekretaris Daerah Sleman Sumadi menyatakan akan mempelajari tuntutan para petani salak. Khususnya berkaitan dengan tuntutan adanya penetapan harga terendah salak serta pemberian fasilitas dan penampingan dalam pengolahan serta pemasaran salak dan produk olahannya.
PITO AGUSTIN RUDIANA