TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Masyarakat Hukum Udara Andre Rahadian menegaskan dibutuhkan kerja sama seluruh stakeholders penerbangan untuk mengambilalih flight information region (FIR-navigasi penerbangan), yang sejak 1945 dikelola Singapura.
Baca: Petugas Navigasi dan Pilot Diminta Mentaati Standar ...
“Walaupun tidak ada keraguan soal kedaulatan wilayah, kontrol atas wilayah udara Indonesia memang harus ada di tangan Indonesia,” ucapnya di sela-sela seminar tentang "Perubahan Batas Flight Information Region: Apa Yang Harus Disiapkan Indonesia?", yang digelar Masyarakat Hukum Udara, di Ayana Midplaza Hotel, Jakarta, Kamis, 15 Juni 2017, seperti dikutip dari siaran pers.
Andre menjelaskan, ada tahapan dan proses yang harus dipenuhi, seperti masalah peralatan, kesiapan sumber daya manusia, dan berbagai faktor pendukung lain. Hal ini mengingat pengelolaan flight information region menyangkut hal fundamental, yaitu keselamatan penerbangan.
Di samping itu, FIR ABC (flight information region di kawasan kepulauan Riau dan Natuna) merupakan wilayah yang sangat padat dengan penerbangan komersial. Terungkap bahwa pemerintah segera mengambil alih pelayanan navigasi penerbangan di kawasan kepulauan Riau dan Natuna, yang pada 1945 didelegasikan kepada pemerintah Singapura.
“Realisasinya akan membawa dampak yang cukup besar dalam kegiatan penerbangan Indonesia dan aspek ekonomi ataupun politik pada umumnya,” ujarnya.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian lnternasional Kementerian Luar Negeri Andri Hadi mengatakan FIR merupakan soal pelayanan navigasi penerbangan yang tidak terkait dengan kedaulatan. FlR dalam Annex 11 tentang Air Traffic Services dari Konvensi Penerbangan Sipil lnternasional 1944, yang dikenal dengan nama Konvensi Chicago, merupakan suatu wilayah udara yang di dalamnya diberikan pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan peringatan/kesiapsiagaan (alerting service).
Penetapan batas FIR, kata Andri, dititikberatkan pada pertimbangan serta kepentingan teknis dan operasional pelayanan navigasi penerbangan untuk menjamin keselamatan dan efisiensi penerbangan dan tidak harus berhimpit dengan batas wilayah negara. Hal ini karena FIR tidak berkaitan dengan persoalan kedaulatan.
Andri menambahkan, perubahan terhadap batas FIR Singapura-Indonesia ini memerlukan peningkatan kemampuan teknis operasional manajemen lalu lintas penerbangan yang meliputi aspek infrastruktur serta kuantitas dan kualitas sumber daya manusia. Saat ini, pelayanan navigasi penerbangan sipil di atas Kepulauan Riau dan Natuna dilakukan Singapura. Pemerintah memiliki mandat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan untuk mengambilalih pemberian pelayanan tersebut.
Baca: Terminal 3 untuk Penerbangan Internasional, Ini Fasilitasnya
Andri berharap seminar ini menghasilkan satu pemahaman sekaligus saran langkah yang konkret, khususnya tentang persyaratan teknis. Sehingga dapat mencapai mandat yang diamanatkan Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
SETIAWAN ADIWIJAYA