TEMPO.CO, Jakarta - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai pemerintah perlu menyusun peta jalan pengembangan industri halal. Direktur CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan peta jalan tersebut menjadi penting sebagai panduan pemerintah dan pelaku usaha untuk pengembangan industri ini.
Baca: Pelaku Usaha Diminta Galakkan Wisata Halal
“Peta ini mencakup strategi pengembangan sektor-sektor andalan, payung hukum yang dibutuhkan, infrastruktur pendukung, pengembangan lembaga riset halal, serta penguatan peran lembaga standardisasi dan sertifikasi halal,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 14 Juni 2017.
Pemerintah, kata Faisal, juga harus mempercepat penyusunan regulasi industri halal, terutama di sektor non-keuangan. Menurut dia, payung hukum untuk industri non-keuangan masih belum jelas. Berbeda dengan industri keuangan syariah yang memiliki sejumlah regulasi dari pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, ia mengkritik Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang disahkan pada 2014, yang belum memiliki peraturan turunan. “Padahal target dari undang-undang tersebut maksimal 2016,” ujarnya. Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan amanat undang-undang tersebut. Kewajiban seluruh produk nonfarmasi harus halal pada 2019 berpeluang besar tidak dapat diimplementasikan.
Faisal menambahkan, diperlukan juga penguatan dan perluasan peran lembaga sertifikasi halal. Lembaga sertifikasi halal, yang saat ini masih dikelola MUI hingga BPJPH terbentuk, harus dijadikan lembaga yang efisien dalam melayani industri berskala nasional dan internasional. Proses sertifikasi harus mampu mendukung pertumbuhan industri. “Bukan malah menjadi beban, terutama dari sisi biaya ataupun proses yang rumit,” ucapnya. Lembaga ini harus mampu membuat standardisasi untuk berbagai industri, seperti jasa perjalanan, hiburan, dan pariwisata.
Menurut Faisal, kebijakan pengembangan industri halal harus disinergikan dengan upaya percepatan pengembangan industri domestik. Sebab, beberapa industri masih bergantung pada impor dan belum cukup siap untuk mengikuti standar halal, seperti industri farmasi dan kosmetik. “Ini perlu mendapatkan perhatian serius,” tuturnya.
Baca: Pusat Kajian Halal ITB Siap Sokong MUI
Faisal memperhitungkan hampir 90 persen produk bahan baku obat di Indonesia diimpor dari negara nonmuslim. Sejumlah bahan baku obat masih mengandalkan produk nonhalal karena keterbatasan produk halal ataupun keekonomisan. Ia mencontohkan 44 persen produk gelatin masih berasal dari babi, 27 persen dari tulang sapi, dan 28 persen dari kulit. “Namun produk gelatin babi dianggap lebih ekonomis karena lebih murah, estetis, dan tahan lama,” katanya.
ARKHELAUS W.