TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan DKI Jakarta, sebagai barometer ekonomi Indonesia, tidak boleh kebablasan menetapkan upah minimum.
Menurut dia, upah yang berlebihan akan menimbulkan permasalahan tersendiri berupa urbanisasi. “Gubernur yang baru setelah dilantik sebaiknya jangan terpaku pada peningkatan upah minimum,” kata Enny di Hotel Ibiz, Harmoni, Jakarta Pusat, Rabu, 31 Mei 2017.
Baca:
Rupiah Hari Ini Menguat 15 Poin
Dolar AS Jeblok, Kurs Rupiah Naik 15 Poin
PP No 57/2016 Berpotensi Ganggu Industri Sawit dan Pulp
Upah minimum provinsi, menurut Enny, sejatinya jaring pengaman ekonomi, bukan standar upah layak. Para pekerja di Jakarta mengeluarkan 30 persen pendapatan untuk transportasi, dan biaya perumahan menyedot 25 persen dari penghasilan. “Perbaikan sistem transportasi dan penyediaan perumahan murah bisa lebih solutif daripada dengan menaikkan UMP,” ujarnya.
Enny berpendapat, penentuan upah minimum harus lebih konsisten dalam hal regulasi. Formulasi penentuan upah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 harus tetap membuka ruang negosiasi antara pekerja dan pengusaha. “Dewan pengupahan harus kembali dihidupkan,” ucapnya.
Pemerintah pun harus memperkuat posisi dari serikat pekerja. Peranan penting serikat pekerja adalah mendorong regulasi yang meningkatkan kesejahteraan anggotanya. “Kalau di luar negeri, posisi serikat pekerja bisa setara dengan partai politik dalam mendorong suatu regulasi,” kata Enny.
Peningkatan keterampilan para pekerja, Enny melanjutkan, harus menjadi perhatian pemerintah, baik daerah maupun pusat. Seperti Jakarta yang mengarah menjadi kota jasa, tapi pekerja yang tersedia justru unskilled dan unqualified. Akhirnya, dunia usaha menyerap tenaga kerja asing karena tidak ada pilihan. “Sertifikasi dari pekerja dengan melakukan pelatihan-pelatihan harus secepatnya direalisasikan,” ujarnya.
IRSYAN HASYIM | JOBPIE