TEMPO.CO, Jakarta -Akhirnya lembaga pemeringkatan global S&P menaikkan peringkat utang pemerintah Indonesia ke BBB-, yaitu memasuki zona “layak investasi”. Ini suatu prestasi yang cukup berdampak karena mencerminkan utang pemerintah yang risikonya lebih aman bagi investor.
Baca: Dianggap Berhasil Jaga Stabilitas Ekonomi, Rating Utang RI Naik
Akibatnya, biaya bunga utang akan turun, sehingga meringankan beban anggaran pemerintah. Peringkat utang badan usaha milik negara atau swasta juga akan ikut turun, dan dari situ akan ada harapan baru untuk membantu pemulihan ekonomi kita.
Baca: Presiden Apresiasi Naiknya Rating Investasi Indonesia
Sebaliknya, investor global, yang sering hanya dapat membeli utang atau obligasi yang berada di peringkat zona “layak investasi”, sinyal baru ini juga penting. Sebab, peringkat utang yang jadi patokan atau yang berlaku bagi investor harus berupa penilaian terendah di antara dua atau tiga pemeringkat global. Dan, dari lembaga pemeringkat dunia: S&P, Moody’s, dan Fitch, hanya S&P yang belum memberi peringkat “layak investasi” bagi utang Indonesia.
Dengan demikian, kenaikan peringkat ini membuka pintu yang lebih lebar bagi pembelian surat utang kita oleh para pemilik dana dan pemain global.
Itulah yang terjadi pada Jumat, 19 Mei lalu, ketika beberapa menit setelah kenaikan peringkat diumumkan, para trader bank sibuk meladeni perintah beli. Akibatnya, bunga utang pemerintah turun 0,15-0,20 persen ke tingkat 6,9 persen. Sedangkan di pasar saham, indeks harga saham gabungan (IHSG) turut meningkat tajam, dari 5.645 pada Kamis ke 5.791 pada hari pengumuman S&P, walau terkoreksi sesudahnya dan turun kembali ke tingkat 5.700 pada 24 Mei. Dengan masuknya aliran dana asing yang cukup besar, nilai rupiah ikut menguat ke 13.325 per dolar Amerika Serikat pada hari itu, dari 13.356 sehari sebelumnya. Lalu menguat lagi ke Rp 13.311 pada 24 Mei.
Lembaga pemeringkatan selalu mengingatkan bahwa yang mereka ukur adalah kapasitas atau “kemampuan” peminjam membayar kembali (capacity to repay), serta “kemauan” membayar kembali (willingness to repay) utang.
Kapasitas pengembalian yang dilihat adalah kesehatan mengelola keuangan fiskal, yakni antara pendapatan pajak dan pengeluaran belanja, sehingga ada cukup dana untuk mengembalikan utang. Dan, jika pendapatan pajak menurun, seberapa jauh pemerintah memiliki kemampuan untuk dapat menurunkan belanja negara, seperti memangkas subsidi dan melakukan penghematan serta perampingan lain.
Pemerintah Jokowi cukup berhasil dalam hal ini. Hanya, faktor “kemauan” membayar, yang nantinya akan menentukan kelangsungan pembayaran kembali utang (repayment sustainability), agak lebih sulit diukur. Faktor ini lebih bersifat kualitatif karena menyangkut pandangan pimpinan negara, juga iklim politik dan keamanan, di sepanjang periode utang itu berlangsung. Dengan memanasnya temperatur politik menjelang Pemilihan Umum 2019, yang sudah terasa dengan pilkada Jakarta bulan lalu, risiko terpilihnya pimpinan negara dan sikap terhadap pengembalian utang yang mungkin berubah akan meningkat. Jadi, walau ada “kemampuan” yang meningkat untuk membayar utang, belum tentu ada “kemauan” membayar yang serupa. Ini yang sering alot dibahas dalam komite penentuan peringkat di lembaga pemeringkatan.
Semoga konsistensi kebijakan dan temperatur politik serta keamanan negara tetap terjaga menjelang dan sesudah Pemilu 2019. Dengan begitu, peringkat layak investasi yang sudah susah-payah diperoleh dapat kita pertahankan.
MANGGI HABIR (Kontributor Tempo)