TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta pemerintah tidak cepat puas dengan capaian hasil audit laporan keuangan pemerintah pusat 2016 yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Adapun hasil ini adalah yang pertama kali sejak 2004 atau 12 tahun lalu.
Baca: BPK Beri Opini LKPP 2016 Wajar Tanpa Pengecualian
"Opini bisa naik-turun, enggak bisa diprediksi. Kalau nanti ada sesuatu di luar kendali, itu juga berarti bisa turun," ujar Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara dalam konferensi pers di kantornya, jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Senin, 22 Mei 2017.
Menurut Moermahadi, hasil opini itu terbatas hanya menggambarkan posisi dalam satu tahun anggaran tersebut. Sedangkan hasil audit ke depan akan sangat bergantung pada neraca dan gambaran pengelolaan sistem keuangan pemerintah.
"Untuk mempertahankan hanya pemerintah yang tahu. Yang bisa berpengaruh itu kalau ada jumlah material dalam masalah belanja dan aset, misalnya," tutur Moermahadi.
Moermahadi menjelaskan, dalam melakukan audit LKPP, BPK mengacu pada empat poin utama. Pertama, penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Kedua, pengungkapan bukti-bukti pembelanjaan anggaran yang memadai. Ketiga, sistem pengendalian internal yang baik. Terakhir adalah ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. "Itu saja yang dijaga."
Moermahadi berujar, hasil audit ini juga menunjukkan pemerintah menindaklanjuti rekomendasi permasalahan dari opini wajar dengan pengecualian (WDP) pada LKPP 2015. Pemerintah berhasil menyelesaikan suspensi perbedaan realisasi belanja negara, yang dilaporkan kementerian dan lembaga, yang dicatat Bendahara Umum Negara, yaitu dengan membangun sistem basis data tunggal melalui e-rekon dan sistem informasi LKPP. "Sehingga tidak ada lagi suspen pada 2016," tuturnya.
Moermahadi menegaskan langkah itu berpengaruh besar terhadap opini yang diberikan pada LKPP tahun ini. Dengan e-rekon dan sistem basis data tunggal, pemerintah memantau dan mencatat realisasi belanja negara secara real time, baik di kementerian dan lembaga maupun Bendahara Umum Negara.
"Kalau dulu enggak sama dibiarkan saja, pas akhir tahun beda baru dicari selisihnya. Bayangkan sudah 12 bulan baru dicari. Ibarat benang kusut sudah susah diurai," kata Moermahadi.
Perbaikan itu pun tampak pada LKPP 2016, di mana jumlah kementerian dan lembaga dengan status WTP naik menjadi 84 persen atau 74 kementerian dan lembaga dari tahun sebelumnya 65 persen. BPK juga memberikan opini WDP kepada delapan kementerian dan lembaga.
Baca: Audit LKPP 2016, BPK Minta Penjelasan Pemerintah
Moermahadi berujar, BPK juga memberikan opini tidak memberikan pendapat (TMP) pada delapan kementerian dan lembaga atau 7 persen. "Opini WDP atas delapan LKKL dan opini TMP atas enam LKKL tidak berpengaruh secara material terhadap LKPP 2016."
GHOIDA RAHMAH