TEMPO.CO, Jakarta - PT Kereta Api Indonesia (Persero) mencatat pertumbuhan penumpang naik dari tahun ke tahun. Pada 2016, jumlah penumpang tercatat 352 juta orang.
“Sebanyak 70 persen merupakan penumpang commuter Jabodetabek,” kata Didiek Hartantyo, Direktur Keuangan KAI, Rabu, 17 Mei 2017. Rerata jumlah penumpang commuter saat ini mencapai 900 ribu per hari dan sempat melampaui satu juta penumpang pada Mei ini.
PT KAI membukukan laba bersih Rp 1,018 triliun pada tahun lalu. Perolehan tersebut naik 4,2 persen dibanding 2015. Didiek mengatakan, pada tahun lalu, perseroan mengumpulkan pendapatan Rp 14,5 triliun. Porsi terbesar adalah pendapatan dari penumpang yang menyumbang hingga Rp 5,6 triliun. “Tapi laba 2016 hanya 7 persen dari pendapatan,” kata Didiek.
Baca: Didi Kempot Jadi Duta Kereta Api
Menurut Didiek, porsi laba dibanding pendapatan perseroan pada 2016 turun dibanding kinerja 2015. Pada 2015, laba perseroan mencapai 10 persen dari pendapatan. Penyebabnya, antara lain, pada tahun lalu angkutan barang tidak sesuai dengan target. “Angkutan batu bara, seperti di Sumatera Selatan, turun.”
Hingga kuartal pertama tahun ini, KAI telah memperoleh laba Rp 574 miliar. Capaian itu naik hampir 50 persen dibanding pencapaian pada periode yang sama tahun lalu.
Baca: Tiket Kereta Api, Saran PT KAI: Buka KAI Access
Dari kinerja laba pada tahun lalu, kata Didiek, perseroan belum tahu pemerintah akan meminta dividen seberapa banyak. Ia berharap dividen yang disetorkan kepada pemerintah proporsional. “Pemerintah perlu dana. Kami juga butuh investasi. Pasti pemerintah punya win-win solution.”
Salah satu investasi yang akan memerlukan banyak dana adalah proyek kereta ringan (light rail transit/LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi. Pada 8 Mei lalu, Presiden Joko Widodo telah merevisi Peraturan Presiden tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan Terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.
Revisi itu menugasi KAI menjadi investor proyek. Megaproyek itu awalnya akan didanai murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Kalau ada proyek penugasan, pasti ada penyertaan modal negara,” kata Didiek.
Pemerintah berencana menggelontorkan PMN sebanyak Rp 5,6 triliun kepada KAI. Selain itu, pemerintah mempersilakan perusahaan mencari pendanaan lain, baik pinjaman dari dalam maupun luar negeri, penerbitan obligasi, dan pinjaman perbankan, termasuk lembaga keuangan multilateral. Pemerintah akan memberi jaminan untuk penerbitan obligasi atau pinjaman tersebut.
Pertengahan April lalu, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Kartika Wirjoatmodjo menyatakan Bank Mandiri menyiapkan dana Rp 4-5 triliun untuk membiayai proyek kereta ringan Jabodebek. Besaran pinjaman itu mengacu pada rencana pemerintah yang ingin melibatkan empat lembaga pembiayaan untuk menutup kekurangan biaya proyek yang mencapai Rp 18 triliun tersebut. “Katakanlah total Rp 18 triliun, dibagi berempat, mungkin per bank sekitar Rp 5-6 triliun,” kata Kartika saat itu.
Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan prasarana kereta ringan Jabodebek sebesar Rp 23,3 triliun. Adapun untuk sarana dibutuhkan Rp 3,7 triliun.
Pemerintah sudah menggelontorkan PMN Rp 1,4 triliun kepada PT Adhi Karya (Persero) sebagai penggarap proyek. PMN lanjutan untuk KAI sebesar Rp 5,6 triliun. Empat bank yang bakal terlibat membiayai proyek itu adalah Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
Selain terlibat proyek penugasan, Kereta Api Indonesia berencana meremajakan armada kereta api. Perseroan telah memesan 438 kereta untuk berbagai kelas kepada PT INKA (Persero). Pesanan akan dikirim bertahap dalam dua tahun mulai tahun ini.
KHAIRUL ANAM