TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja mengatakan ada kekosongan struktur usaha perikanan saat pemerintah memberantas pencurian ikan (illegal fishing). Alasannya karena
selama ini pelaku illegal fishing bergerak dari hulu ke hilir.
"Mereka (pelaku illegal fishing) selama ini berperan sebagai nelayan, pengumpul, kapal angkut, sampai eksportir," kata Sjarief Widjaja saat ditemui di @america, Jakarta, Selasa, 25 April 2017.
Baca: Menteri Susi Pimpin Penenggelaman 81 Kapal Illegal Fishing
Kondisi ini, kata Sjarief, merupakan tantangan bagi pemerintah dalam membangun infrastruktur usaha perikanan. Sebab kondisi produksi ikan di sentra produksi tak akan bisa diangkut ke sentra konsumen jika tak ada infrastruktur usaha.
Sjarief menuturkan, jika hal itu terjadi maka harga di sentra produksi ikan akan jatuh, karena tak ada yang mengangkut ke konsumen. "Akibatnya ikan melimpah, tapi tak bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat."
Menurut Sjarief, ini mengakibatkan harga ikan di tingkat konsumen tak mengalami kenaikan signifikan,bahkan ada juga yang turun. Namun ditakutkan penurunan harga terjadi di sentra produksi. "Ini mempengaruhi pendapatan nelayan,"
katanya.
Sjarief menegaskan struktur usaha di sektor perikanan tak benar-benar hilang. Hanya masalahnya unit-unit pengolahan belum tentu ada dengan kapasitas yang menjangkau tempat terpencil sehingga harus ada pedagang-pedagang lokal.
Baca: KKP Gandeng Inggris, Kembangkan Satelit Pelacak Illegal Fishing
Untuk itu, ucap Sjarif, pemerintah mendesak BUMN dan swasta ikut dalam unit usaha angkut maupun simpan dalam bentuk rantai dingin dari hulu ke hilir. Sistem rantai dingin perlu dibangun dari cold storage sampai ke kapal angkut berpendingin.
Sjarief mencontohkan BUMN Perinus dan Perindo yang didorong mengintensifkan pengadaan kapal-kapal angkut demi membentuk struktur usaha. Selain itu juga kerja sama dengan Pelni melalui program tol laut.
DIKO OKTARA